Rasanya saya ingin menolak keluar dari studio bioskop. Saya sadar ini sudah selesai, tapi "rasa" hati ini ingin menuntut adegan akhir yang lebih "mengakhiri". Gimana ya mendeskripsikannya, haha, syulit.
Sebagai pembaca buku "Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela", saya merasa film animasi adaptasi dengan judul yang sama ini cukup bisa mengejawantahkan apa yang saya bayangkan saat membaca buku. Sebenarnya terakhir membaca buku Totto-chan sudah lama sekali. Saya pun sudah sedikit lupa ceritanya, tapi kesan-nya masih menempel. Bahkan, tanpa sadar, beberapa prinsip dan pola pikir saya ternyata (karena baru saya sadari jauh di kemudian hari) cukup mendapat pengaruh dari cerita Totto-chan, dari tokoh-tokoh yang dekat dan Ia ceritakan dengan kekaguman. Buku Totto-chan saya juga sudah tidak ada di rak sejak saya berpindah-pindah tempat kost semasa kuliah-lulus-kerja-menikah. Sepertinya saya pinjamkan ke Ibu, karena merasa kisah dalam buku ini bagus sekali (dan Ibu suka baca). Tapi juga masa itu keluarga saya sempat pindah rumah dua kali di Jakarta, dan banyak barang-barang kami (termasuk koleksi lengkap komik Sailormoon berwarna, Detective Conan, Sentaro, Slam Dunk, dan komik-kamik lainnya) (brb nangis dulu di pojokan) (tiap inget masih nyesek) (puk puk) yang sudah tidak bisa dilacak lagi keberadaannya.
Beberapa waktu lalu di bulan Februari, ada Festival Literasi, acara tahunan di Rumah Belajar Semi Palar. Dalam rangkaian pekan FesLit tersebut, salah satunya, ada sudut Bursa Buku Seken, wadah warga Semi Palar (Anak, Kakak Guru, maupun Orang Tua Murid) yang ingin menjual buku-buku bekasnya yang masih bagus, untuk dibeli dan dinikmati warga Semi Palar lain. Di sana saya menjumpai kembali buku Totto-chan yang dijual salah seorang Kakak Guru. Karena melihat sampulnya saja, deras nostalgia Totto-chan yang bercampur buram ingatan akan ceritanya langsung membanjiri otak saya, maka saya langsung memutuskan untuk membelinya, untuk saya baca kembali. Saya cuma ingat, saya di tahun 2007 sangat, sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca SEMUA ORANG. Pasti kalau berjumpa dengannya saat itu di Bursa Buku, dia akan berteriak, "Beli sih, beliii, asliii!"
Tidak lama, suatu hari di Bulan April saya melihat Instastory Nuha, yang sekarang tinggal di Bali, membagikan berita bahwa Totto-chan akan ada film animasinya yang tayang di Bioskop tanggal 1 Mei! Excited sekali, saya langsung mulai untuk membaca ulang Totto-chan yang saya beli di FesLit Semi Palar.
Membacanya kembali mengingatkan saya akan banyak hal. Ibarat minuman teh tubruk yang daunnya sudah mengendap dan airnya sudah jernih, membaca buku ini kembali seperti mengaduk dan membuat otak saya menemu-kenali lagi serpihan-serpihan "daun-daun teh" yang..unik, seru, dan membawa banyak memori dan cerita. Saya bertemu lagi (dan semakin kagum) dengan Pak Kobayashi. Saya terenyuh lagi dengan persahabatan Totto-chan dan Yasuaki. Saya jatuh sayang lagi dengan Rocky. Saya juga kembali bertemu dengan Mama Papa Totto-chan. Sampai hari ini saya memutuskan untuk menonton filmnya bersama teman-teman Labtek Indie, saya belum tamat membaca ulang bukunya (tapi saya sudah selesai membaca Daftar Isi-nya, hehehehe). Tulisan lain tentang refleksi saya akan Totto-chan dan sebuah gerakan partisipatif ada di medium, pada tautan ini.
Ulasan film animasi Totto-Chan
*spoiler alert :p
Film animasi Totto-chan dibuat sangat apik. Ada beberapa gaya animasi di dalamnya untuk membedakan dunia nyata dan alam imajinasi. Tapi pengejawantahan visualnya menurut saya sangat bagus; cantik, bermakna, dan mendalam.
Lewat visualisasi animasi, saya jadi bisa bertemu dengan produk-produk "canggih" pada masanya, di tahun 1940an. Saya jadi tau "kulkas" pada jaman itu seperti apa bentuknya dan bisa menerka cara kerjanya, juga toaster. Saya juga melihat kereta dan trem, pemukiman dan jalan-jalan di sekitar stasiun Jiyugaoka. Oh! Saya juga jadi kenal Bapak pengumpul karcis dan jadi tau flow/mekanisme/SOP pengumpulan karcis kereta di jaman itu karena Totto-chan mengenalkan kami padanya :)
Ada banyak metafora dalam penceritaan dan penggambaran visualisasi di film animasi ini. Contohnya waktu untuk pertama kalinya Yasuaki mencoba berenang di kolam sekolah. Di buku diceritakan selewat, tapi di film animasi ini penggambarannya sungguh indah. Indah karena penonton bisa melihat Yasuaki yang kesulitan berjalan karena Polio, sewaktu merasakan berada dalam air, seketika senang karena tubuhnya menjadi lebih ringan dan ia bisa bergerak dengan lebih mudah. Lagi-lagi, di buku hanya dibahas selewat tapi dalam film animasinya, bahkan adegan menyenangkan ini berhasil membuat titik air mata saya menetes saking terharu dan ikut senang.
Lain hal lagi yang saya sadari, over time, kami penonton dibuat semakin kenal dan akrab dengan Bapak penjaga karcis kereta. Di masa mulai mendekat waktu perang berakhir (tahun 1943-an) dan masa kekalahan Jepang di Perang Dunia II, tiba-tiba ada penggambaran cut-to-cut fade in dari gelap, selembar kelopak sakura yang jatuh, lalu mendarat di topi si Bapak yang kemudian mulai terang digambarkan sedang menyapu di depan stasiun. Adegan sekian detik tersebut hening, tanpa suara, dan karenanya terasa gravitasi yang berbeda dengan alur penceritaan yang lain. Penonton seakan diberi peringatan untuk bersiap-siap. Untuk apa? Naaah..kasih tau ga yaaaaa? :p
Begitupun visualisasi tanpa dialog saat Totto-chan yang sedih berlari dari rumah duka menuju sekolah. Totto-chan melewati "artefak-artefak" akibat perang yang dibawa oleh setiap orang, warga, atau penduduk kota tersebut. Lagi-lagi, adegan ini walau dengan musik latar, tapi tanpa dialog dan sesekali ada adegan slow motion yang rasanya seperti "Bold Italic Underline" di aplikasi dokumen. Penekanan lewat bahasa visual. Dan justru karena tanpa dialog, buat saya pribadi, scene menjadi sangat powerful. Ini tuh definisi, "ga di towel aja saya nangis". Iya, memang ceritanya ini tuh Totto-chan lagi sedih, makanya wajar saya juga kebawa sedih, TAPI VISUALISASI pendukung dan penggambaran lainnya tuh, seperti, penggambaran aktivitas warga sehari-hari gitu lho, tapi penekanan-penekanan tiap simbol, objek, dan zoom in-nya BIKIN SEDIH, ngerti ga ya 😭🤧 Yang bikin sedihnya saya tuh jadi berlipat-lipat dan berat! Huhuhuhuhuu!
Omong-omong, setengah lebih dari durasi film Totto-chan ini tuh lucu ya, heartwarming, seperti yang di buku lah. Jadi jangan menganggap (lagi-lagi) film ini akan se-sedih Grave of the Fireflies yah, hehehe. Yaaa..cuma..gravitasi cerita pilu yang ada di hampir seperempat ujung film memang..besar sih.
Plus Minus Dibandingkan dengan Buku
Menurut saya mengalami yang satu tidak akan bisa menggantikan pengalaman yang lainnya. Maksudnya, kalau sudah membaca bukunya, tidak berarti bisa skip film-nya, dan sebaliknya. Karena ada pengkayaan yang berbeda dari mengalami proses keduanya. Seperti yang saya paparkan di atas, di film animasi, pengalaman penonton dibawa secara visual ke masa Totto-chan kecil hidup. Dan sebagai manusia tahun 2024, ada banyak hal menarik yang bisa saya amati. Juga detil-detil visualisasi yang bersangkutan dengan pengalaman teatrikal yang pastinya lebih menyentil "rasa".
Sementara, dalam buku, penceritaannya lebih leluasa dan "sabar". Dalam buku, Tetsuko Kuroyanagi bercerita dengan perspektif orang ketiga, walau yang diceritakan adalah dirinya sendiri. Perspektif ini membuatnya leluasa menjelaskan berbagai hal diluar nalar dan pemahaman Totto-chan kecil, yang menurut saya sangat membantu pembaca. Contohnya, di bab "Euritmik", dalam buku penceritaannya baguuuuus sekali. Tapi saya pun baru bisa mengenali bab ini sangat bagus saat saya membacanya kembali sekarang. Tetsuko Kuroyanagi menjelaskan apa itu Euritmik dan bagaimana Pak Kobayashi, kepala sekolahnya, menerapkan Euritmik untuk tujuan tertentu yang Ia yakini. Pak Kobayashi meyakini Euritmik adalah bagian penting bagi pembelajaran siswa Tomoe untuk bisa memahami dirinya. Euritmik, menurut Pak Kobayashi, yang diceritakan Kuroyanagi, mengasah "rasa" para siswa, lewat musik. Supaya dalam diri para siswa ini nantinya tumbuh kepekaan, dan "rasa" adalah hal yang sungguh esensial. Mengutip dari bab "Euritmik" di buku,
"Punya mata, tapi tidak melihat keindahan; punya telinga, tapi tidak mendengar musik; punya pikiran, tapi tidak memahami kebenaran; punya hati, tapi hati itu tak pernah tergerak dan karena itu tidak pernah terbakar. Itulah hal-hal yang harus ditakuti, kata Kepala Sekolah."
Penggalan ini dalam buku menjelaskan bagaimana sikap dan prinsip Pak Kobayashi, juga Papa Totto-chan, dalam melihat perang yang diikuti secara aktif oleh negaranya, tapi ditentang oleh hatinya.
Menyoal perang, dulu semasa sekolah saat belajar tentang penjajahan, saya selalu berpikir bangsa penjajah itu jahat. Semakin dewasa dan banyak bertemu beragam manusia membuat saya belajar, bahwa yang melakukan ketidak-benaran (atau jahat, sederhananya) itu "oknum", selalu oknum. Lewat film animasi ini, saya juga menyadari bahwa semasa Perang Dunia II, di saat Jepang melakukan invasi kemana-mana, termasuk menjajah Indonesia (yang konon dalam catatan sejarah penjajahan di Indonesia, Jepang adalah penjajah yang kejam), rakyatnya juga menderita, dan tidak semua dari mereka yang setuju dengan perang. Cuilan keseharian Totto-chan dengan kilasan interaksi dengan Mama Papanya juga Pak Kobayashi cukup menggambarkan pertentangan batin tersebut. Hal ini membuat saya pun berefleksi dengan keadaan yang terjadi di dunia saat ini.
Gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah.
Dalam film, seperti juga di buku, pertentangan dan kepiluan ini masih dinarasikan dengan perspektif yang optimis dan semangat, alih-alih meratapi nasib. Tapi lewat visual, karena langsung nempel banget ke otak tanpa harus di proses, tidak seperti membaca yang dari mata di proses dulu di otak lalu dibayangkan yang kadang bisa ada gambarnya kadang tidak, efeknya malah nambah pilu gitu lho. Sedih, terenyuh, juga terharu melihat kesulitan dihadapi dengan tegar dan kepala tegak. Saya juga terenyuh dan terharu sekali melihat evolusi Totto-chan dari kecil sampai menjadi anak perempuan yang sangat berempati pada orang-orang dewasa di sekitarnya.
"Totto-chan, kamu adalah sungguh, gadis yang baik hati!"
Kutipan dialog yang ada di awal dan di akhir film animasi ini sangat besar gravitasinya, apalagi di akhir, saat diucapkan Totto-chan pada adik perempuannya yang masih bayi di dalam kereta menuju tempat pengungsian. Rasanya seperti penonton langsung diberi berkilo-kilo batu kali di dada (dan kerongkongan). Eh ga tau ya penonton lain, saya ga sempat tengok kanan kiri, karena sudah banjir air mata dan sibuk buang ingus, heuheu.