Hari ini adalah pembukaan Summer School, akhirnya, sekolah di mulai 🎉
Pembukaan Summer School di mulai pukul 09:30, jadi saya berencana untuk berangkat pukul 09:00 dari kosan, sambil mengunjungi dulu Lifam dan Adri, yang kosannya sekitar 1 menit sepeda dari kosan saya, untuk bersama ke kampus.
Difotoin Lifam, di depan kampus. |
Di meja registrasi sudah banyak sesama siswa summer school mengantri untuk mendaftar ulang, mendapatkan nametag, dan tas yang isinya ada printed schedule day-to-day untuk program summer school,
Padats merayaps.
dan juga student’s souvenir seperti notebook, pulpen, stroopwafel yang notabene adalah cemilah khas Belanda, botol minum, dan pin Jane Jacobs, icon urbanism dan spatial justice.
Agenda hari ini full materi kelas, mulai dari pukul 10:00 sampai pukul 18:00. Tentu ada jeda coffe/snack/toilet break in between dan jeda makan siang. Tapi ternyata cukup melelahkan juga.
Walau lelah, hari ini saya belajar banyak dari keynote speakers hari ini. Ada Roberto Rocco yang juga inisiator dari Summer School ini, yang bicara soal konsep Randstad atau The Rim City atau The City at the Borders, yang diterapkan Belanda, bagaimana itu terjadi, dan utamanya mengapa. Roberto juga bicara soal Belanda menjadi negara yang saaangat direncanakan. Bahkan Ia sempat mengutarakan, “Maybe too well planned”. Dan sambil waktu bergulir, speakers lain masing-masing dari perspektif dan expertisenya mengurai soal “kenapa”-nya. Di sesinya, Roberto juga memberitau peran-peran urban planner.
Sebelum summer school dibuka, kami mendapat dua tugas. Tugas pertama adalah membuat pitch 3 slides tentang urban icon di negara masing-masing, yang sampai sekarang belum saya kerjakan 😬 hehe. Niatnya mau mengerjakan semalam, tapi karena baru dikumpulkan hari Jumat jadi saya pending. Tugas kedua adalah membaca paper/journal dan booklet yang sudah disediakan. Bacaan wajib pertama adalah journal tentang peran urban planner. Paper ini yang banyak membantu saya memahami konteks kelas dari speakers hari ini.
Materi yang berkesan bagi saya hari ini adalah tentang “Water Management Sytem” di Belanda oleh Martine Rutten dan tentang “What Dutch Government do in Relation to Water Management” oleh Lilianne van Sprundel. Lewat dua materi ini saya belajar, bagi Belanda, water management atau pengelolaan air ini sangat krusial. Mengapa? Karena dataran Belanda sangat rendah, bahkan di bawah permukaan laut. Tanpa water management system yang baik, kota-kota di Belanda bisa banjir bahkan tenggelam. System yang mereka gunakan untuk mengelola dan mengeluarkan air dari dataran adalah dengan Kicir yang memompa air keluar, membangun kanal, tanggul, dan merencanakan semuanya dengan seksama. Pembangunan pun harus direncanakan dengan saangat cermat. Taruhannya adalah nyawa penduduknya. Dan tantangan ini sudah mereka hadapi sejak abad 16. Sejak itu masyarakat, cendekia, dan pemerintah belanda secara konstan dan terus-menerus berinovasi untuk membangun sistem yang efisien. Aula yang kami huni saat kelas tadi bahkan ketinggiannya tiga meter di bawah permukaan Laut. Saya takjub sih. Lilianne juga tadi memaparkan usaha-usaha yang dilakukan pemerintah bersama dengan pemangku kepentingan lain untuk surviving water threat ini. Walau, setelah kelasnya selesai, ada diskusi kecil tambahan di tepi podium dengan segelintir siswa membahas tantangan-tantangan yang mereka hadapi juga. Jadi kolaborasinya juga ga se-smooth itu ternyata. Menarik.
Materi selanjutnya yang sangat membuat saya tertarik, adalah materi yang juga sudah saya pelajari di Autumn School tahun lalu, tentunya, soal Spatial Justice. Materi ini yang selalu bikin Saska bilang kalo saya sekolah ini buat jadi ESJEWE 🫠padahal bukan, saya mah ESTEEMJE. Kenapa saya suka materi ini? Karena dari apa yang saya tangkap, secara teori dan konsep, spatial justice itu seru banget, dan sangat mendesak untuk dimiliki. Tapi tentu saya sih skeptis. Pake banget. Apalagi melihat pendidikan politik dan cara berpolitik orang-orang Indonesia. Udah ga bisa ga skeptis sih. Sayangnya, kelas ini dibuka tadi pagi oleh Roberto dengan disclaimer, “We need to trust our institutions”. I definitely don’t. Valid sih argumennya, karena kita tidak akan bisa mewujudkan perubahan sendiri, kita butuh powerful ally as powerful as institutions, dalam hal ini pemerintah. Lewat program Bandung Food Change Lab yang saya kerjakan bersama Riset Indie di tahun 2016-2017, kesadaran ini sudah muncul, makanya kita sangat berusaha menginisiasi multi-stakeholder meetings. Tapi antara kami yang kurang gigih dan persisten, atau memang waktu programnya yang kurang lama, ga banyak perubahan nyata yang bisa kami hasilkan.
Sebetulnya yang membuat saya dagdigdug excited bukan soal pelibatan multi-stakeholder-nya, tapi justru the possibility dan the idea of implementing spatial justice dengan tata kelola yang juga completely transparent dan unapologetically neutral, karena di atur oleh sistem bukan manusia; DAO. Decentralized Autonomous Organization. Saya diperkenalkan DAO dari diskusi-diskusi KNODS di Labtek Indie. Kindly check www.labtekindie.com to know more about KNODS. Saya sadar di titik ini DAO masih experimental dan masih menyisakan loophole, tapi saya punya intuisi ini bisa jadi platform yang enabling “just transition” atau masa peralihan dalam pembangunan yang adil. Pasal kelima pancasila, haha, mendadak berat. No, tapi pembangunan ga hanya exclusively means pembangunan kota. Bisa juga pembangunan sistem, atau pembangunan product. Tentunya sistem atau produk yang melibatkan kemaslahatan banyak orang/penduduk.
Kembali ke Spatial Justice, ada yang menarik dengan gambar ini. Caroline Newton, speaker yang membawakan topik ini, menginformasikan the “Ontological spatially of being”, yaitu bahwa manusia adalah social being, tentu, dan juga temporal being, kita selalu bound by times and moments. Tapi tidak hanya itu saja, kita juga Spatial Being. Tempat kita berada, bisa mendefinisikan siapa kita, dan ini tidak sepenuhnya adil. Di gambar atas adalah peta kota London dan bagaimana kota ini memisahkan tipe-tipe masyarakat yang hidup didalamnya. Timur London adalah masyarakat miskin, Barat London mereka yang kaya, Utara London tempat orang-orang pintar dan cendekia, dan Selatan London adalah daerah suburban yang banyak preman-nya. Bayangkan jika kita dilahirkan (kita tidak bisa memilih) di bagian tertentu di kota ini yang langsung mendefinisikan siapa kita, sebelum kita bahkan bisa melakukan apapun. Ilustrasi ini mengingatkan saya akan Romo Mangun dan perjuangan yang juga karyanya di Kali Code, Yogyakarta. Saya kenal Romo Mangun karena sangat mengagumi novel-novel-nya, terutama Roro Mendut. Cara ia bercerita itu lucu, receh in a way, dan dengan subtle berpihak pada kawulo alit. Membuat yang membaca bisa mengerti, tapi bukan lalu merasa iba, alih-alih merasa empowered. Nah, saya akan bawa Romo Mangun ke dalam presentasi saya tentang Urban Icon dari Indonesia! 😀😎✨
Untuk menutup postingan saya hari ini, ini menu makan siang saya hari ini. Makan siang hari ini disediakan kampus, tapi besok-besok engga 😅 ya gapapalahyaaa..mayan..ini adalah quinoa, saya baru pertama kali makan quinoa. Iya ada sih di Indo, tapi kaya ga ngerti masaknya dan gatau what to expect gitu ya rasanya gimana jadi males nyoba. Quinoa, sup tomat, salad dan roti yang tentunya sangat royal keju dooong..apa kabar nih kulit saya, break out ga ya 😅 mudah-mudahan engga. Engga dong pliss..yah.. *ngomong sendiri
Makan malam tadi masak nasi, yang saya mulai terbiasa dengan rasa dan baunya, dan tumis brokoli bawang. Masih ada sisa buat sarapan besok! Ga difoto karena tadi udah laper dan capek banget.
Perempuangimbal, OUT! Sampai besok! Sudah jam 22:30 di sini, saatnya solat maghrib dan saya mau TIDOOORR capek banget 😪
No comments:
Post a Comment