Sunday, July 24, 2022

17/28 Sebuah Presentasi Akhir (part 1)

Seminggu sudah berlalu sejak post terakhir :) Ada beberapa faktor yang membuat saya tidak sempat menulis blog.

Rasanya semua kapasitas pikiran, waktu, dan tenaga semua terkerahkan untuk menangkap, mengolah, dan memahami materi perkuliahan supaya bisa saya cerna dan bisa jadi ilmu.

Setiap hari perkuliahan dimulai pukul 09:00 dan selesai pukul 18:00. Dari hari pertama pembukaan sudah diwanti-wanti sama dosen pelaksana kegiatan, “Please be ontime. If you can try to be anything here, is at least be on time.” Sebagai satu dari sekian banyak manusia pemegang cap jam karet yekan..extra effort untuk bisa keluar dari singgasana pemegang cap. Konsekuensinya, hidup saya harus lebih tertib 😅, artinya no bobo bobo mepet subuh ya nona. Udah gitu tiap pagi mesti gowes sepeda pula kan, kalo ga sarapan kayanya ga ada yang bisa dibakar buat jadi energi. Seandainya saja ketidaksabaran dan keteledoran bisa dibakar jadi energi. Jadi tiap pagi MESTI BANGET SARAPAN minimal nasi semangkok lah sama ayam asap supermarket, tomat cherry minimal 8 butir, manis-manis sedikit tida lupaaa. Bukan, bukan ngaca, maksudnya makan stroopwaffle atau biskuit yang bukan biskuat 😌 Kalo ngaca nanti malah jadi kecut ya Bundh, seperti lyfe. Jadilah, waktu menulis yang kutunggu-tunggu jadi sering terkorbankan. Sebetulnya ada niat juga tidur cepat dan bangun sebelum subuh yhia, tapi sepertinya itu bukan niat, melainkan keinginan. Karena kalau niat pasti terlaksana, kalo tidak terlaksana itu namanya wishful thinking 😎

Enough for the excuses. 

Seperti tertera di judul, tulisan ini seharusnya menjadi dedikasi terakhir saya untuk proses summer school. Sebelum saya menceritakan project dan presentasi kelompok terakhir kami saya akan bercerita sedikit tentang apa saja yang bisa saya cerna dari 150 jam belajar selama summer school.

Di hari kedua perkuliahan dimulai, kami sudah dibagi kelompok. Saya ada di dalam kelompok bersama 3 siswa lainnya. Mereka adalah Aaron dari Jerman, Fernanda dari Brazil, Nasha dari Thailand dan saya dari kemaren. Nulis ga kelar kelar. Di hari pertama, dalam kerangka workshop yang dipandu Charissa Champlin, tugas pertama kami sebagai kelompok adalah mendiskusikan 3 hal setelah mendengarkan pemaparan real case soal heatwave yang terjadi di area pelabuhan tua Den Haag: 
1. Siapa saja peripheral actor yang akan dipilih? Pilihannya ada Future Actors, Expert, Citizen, Agent Actors, dsb.
2. Tools apa yang akan dipilih untuk mengumpulkan data? Observasi, wawancara, sketsa, survey, expert interview, game design, atau waild card. Wild card berarti tools-nya di luar yang disediakan/ditawarkan.
3. Tipe knowledge apa yang ingin didapatkan? Interelation, expert knowledge, sama apa lagi ya udah lupa.

Setelah berdiskusi seru, kelompok kami mengambil Future Actors, dengan tools wildcard + observasi, dan collecting interrelation knowledge. Future Actors kami artikan sebagai anak-anak 😀 (projectnya udah njelimet jadi kami berusaha cari aktor yang prosesnya bisa fun), toolsnya adalah, karena keterbatasan bahasa, none of us speak or undestand Dutch, jadi kami menggunakan media gambar. Yes, collecting drawings, dengan design trigger questions/thoughts yang dirancang se-tidak-framing mungkin. Knowledge yang ingin kami kumpulkan adalah pola relasi anak-anak sebagai aktor dalam kota yang asumsinya suara mereka tidak ter-representasikan dalam pengambilan keputusan tata kota.

Project ini yang akan kami presentasikan di penghujung summer school. Dan kami dibawa ke project site di hari selanjutnya untuk menguji metode yang sudah kami matangkan. Hari ketiga kami site visit, kebetulan sekali alam memberikan pengalaman immersive. Hari itu heatwave, terik sekali, panas sekali. Temperatur di Delft 35C, di area pelabuhan rasanya lebih deh. Namanya kolek data ya Bundh, ga jauh beda sama kondektur bus, mondar mandir, jalan kaki kesana kemari, observasi, sambil engage dengan anak-anak di playground yang ga ada shade-nya sama sekali 🥲 kulitku menangys. Well actually, ia tidak menangis sih, karena udara super dry udah kaya kain baju olaraga, keringet yang keluar kaya langsung nguap gitu ya, sebisa mungkin kami keep hydrated. Tapi susah sambil engage sama anak-anak sambil gatau jalan tea pan. Akhirnya hari itu walhasil saya jalan kaki (ga saya sendiri sih, sama Aaron, Nasha, dan Fernanda) kurleb DUA PULUH LIMA KILO AJHYAAA. Dampaknya adalah, kaki saya mbelgedes karena sepatu yang saya pake (dan satu-satunya saya bawa) kayanya ga dibuat untuk kenyamanan jalan kaki jarak jauh super intens flex. Dampak lain kulit kering kerontang, terbakar pula. Saya membuktikan bahwa burnt effect yang sering digunakan byuti vlogger di IG itu dusta. Di saya dia tidak cancik bundh, lebih ke memberi efek nelangsa dan aura anak-anak kosan kurang giji. Iya giji. Gizi dan gaji. 

Bukan, bukan lemak. Itu gajih.

GAJI.

Yak lanjut!

Efek selanjutnya adalah tentu kelelahan dan hasrat kuli yang bangkit tatkala makan selama seminggu ke depan. Juga sedikit nosebleed alias mimisan dan belang-belang seperti motornya Kotaro Minami. Oh itu Belalang deng. Kayanya aing mimisan terakhir jaman ESDE deh. 

Anyway, dengan segala kenestapaan itu, tapi METODE YANG KAMI UJI COBA TAMPAKNYA BISA BERHASIL dan berjalan lancar, YEAY! 🥳 kami senang sekali sih. Dan karena tampaknya ini bisa works, kami meutuskan untuk melanjutkan metode ini untuk kolek data BENERAN di hari Sabtu-nya. Jadi ini simulasi aja, jangan sedih. Tapi setidaknya kami tau dan tempe, next time naik trem aja jan kaya orang susa ya kan. Padahal emang susa si ya hidup di negara maju dari negara berkembang. Hahahahahhaa.

Kami dapat banyak sih, foto-foto tentu saja, tapi paling happy lihat gambar bocah-bocah ingusan. Bukan kiasan ya, beberapa dari mereka emang beneran ingusan.

   

“Sumpah aku ke Belanda!”
“BOHONG! Itu kamu ke Garut, Banjar, dan Soebang! Jajan cilok micin ya kamu!”


  

Pertama sampe tuh ya, di pelabuhannya banget sih. Gitu aja. Yang menarik sebetulnya sebelum kami jalan ke area perumahan untuk low income household, kami belajar bahwa di Belanda, mereka punya sistem di setiap kawasan area perumahan, mereka punya regulasi bahwa 30%-nya harus ditujukan untuk Social Housing, untuk menekan gap kesenjangan sosial. Nah kami di assign untuk melihat dan melakukan observasi, baik soal dampak heatwave dan potensi ketimpangan sosial yang mungkin ada atau sudah ada. 

 

Ini juga menarik. Bagi pemirsa yang SJW-alertnya nyala, pasti auto mikir, “Ini tangga steep banget, gimana akses buat vulnerable group?” Kami juga punya pertanyaan yang sama, walau saya sih masih setengah esteemje yah, gapapa asal ga pehape.

Jadi ternyata, Den Haag itu punya garis coastal defense (lebih lanjut saya ceritakan di sini ya), nah, masyarakat yg tinggal di kawasan ini tuh yang di luar coastal defense. Jadi sewaktu-waktu ada kondisi alam ekstrem yang terjadi, rumah-rumah di sini bisa kerendem. Nah, ini level yang aman bagi penghuni supaya rumahnya ga kelelep sebenernya. Biasanya ruang bawahnya digunakan untuk tempat parkir atau storage. 

 
Makin jalan ke tengah, area perumahannya semakin berubah. Semakin banyak landed houses, Jalanan semakin lebar, parkiran mobil semakin tersedia, Pohon-pohon tumbuh semakin sering.

 
Di area yang lebih nyaman, mereka bahkan punya Divorce Housing dan Young Housing, untuk janda yang pisah dan memerlukan dukungan tempat tinggal, supaya masih bisa masuk akal punya tempat tinggal, begitupun untuk keluarga yang beru memulai.

   

Banyak parkiran sepeda, dan di setiap parkiran PASTI ADA AJA sepeda yang ada boncengan anak atau ada bak anaknya. Artinya, populasi anak di kawasan ini banyak, dan banyak orang tua juga yang mengajak anaknya keluar. 


Nah, akhirnya kami ketemu playground yang ada anak-anaknya, dan dimulailah percobaan pertama kami menguji metode. Bisa ga nih pake bahasa tarzan dan mengandalkan bahasa kalbu dan getaran cinta, minta mereka gambarin perasaan mereka terhadap keadaan sekitar; keluarga, tempat bermain, alam (jangan, jangan. Bukan mbah dukun) (awas nyanyi).

 


Ini saya dan Nasha, Fernanda yang ambil gambar dari belakang saat kami kembali ke bus rombongan. Makin lama saya udah makin oleng sih, asli panas banget dan kaki saya sakit banget dipake jalan 😭

Nyungsep

Ini patung yang representing orang-orang yang menanti seseorang kembali dari lautan. Sedi yhia..
 


Tato ikan, bukan sarden kaleng ya. Di sini sailors sangat bangga dengan ke-sailor-an-nya.

 

Sebentar, tap-an dulu. Berhubung ini sudah malam, saya kayanya mesti bangun besok pagi untuk cabs dari Delft dengan kereta super extra pagi (untuk ukuran public transport sini).

Saya potong di sini dulu ya, next post saya akan cerita rangkuman site visit, hal-hal yang saya cerna dari perkuliahan yang spark my ideas untuk ke depan, dan hasil kami presentasi 😀 
Juga perjalanan perpindahan saya dari Delft-Hannover-Berlin-Prague demi menuju bandara Graz untuk pulang.

Tidur dulu, ndak edan 😪🫠😴

Sampai jumpa di post selanjutnya!

Jangan lupa waras, minum air putih, dan tidak menyerah pada asumsi (NAON SIH).

No comments:

Post a Comment

Totto-chan: Sebuah Ulasan

Segera setelah adegan terakhir Totto-chan membuka pintu kereta yang masih berjalan sambil menggendong adik perempuannya yang masih bayi, lal...