Saturday, February 25, 2023

Mencoba Melambat 1


Di usia yang ke-36 ini, saya baru menyadari beberapa hal.

Dulu saya pikir saya menikmati pertemanan yang super banyak, punya aspirasi jadi anak gaul yang menikmati suasana di tengah hiruk pikuk. Banyak teman nelpon ke rumah hanya untuk minta saran atau curhat. Dan saya ga ngeluh. Saya merasa menemukan arti diri saya dengan pertemanan dan berada di hiruk pikuk. Sekarang, berhadapan dengan (apalagi ada di tengah) hiruk pikuk sungguh menghabiskan daya energi, dan saya menemukan diri saya cukup kikuk ada di hingar bingar suasana. 

Sebenarnya kalau dipikir keras, peralihan ini mulai terasa perlahan sejak menikah, kemudian hamil dan menjadi ibu pertama kalinya. Waktu itu, 10 tahun yang lalu, tapi tidak pernah saya ambil pikir dengan baik. Setelah melahirkan anak pertama, total 6 bulan saya masuk camp pendidikan pertama menjadi Ibu yang sedikit banyak otodidak. Saya menemukan banyak teori lama tidak relevan, dan teori baru sungguh membebaskan dan menggoda. Walau setelah itu sedikit banyak juga melahirkan konflik-konflik biasa dalam keluarga besar. Waktu itu rasanya tidak biasa, sekarang, kalau melihat ke belakang, rasanya ya biasa, karena pasti perubahan dalam lingkungan lama, memiliki tendensi melahirkan konflik. Kalau dulu pasti ada dramanya, sekarang rasanya ya, tinggal dihadapi aja. Mau sepelik atau sekompleks apa, tidak ada yang bisa dilakukan selain menghadapi. Ini pelajaran pertama motherhood saya. Hadapi. Apapun itu.

Jadi dalam 6 bulan pertama rasanya saya benar-benar tidak keluar rumah, setiap hari rasanya saya harus belajar hal baru, eh, ralat, setiap hari rasanya saya harus menghadapi hal baru. Baik itu perihal, pelajaran, drama, atau ketidaktahuan dan keputusasaan. Belum lagi rasa lelah dan sakit badan (secara general maupun sektoral, terutama di bekas luka jahitan dan payudara yang baru pertama kalinya memproduksi susu). Pertama kali saya "keluar" ke sebuah pertemuan pasca event yang saya dan rekan-rekan kerja inisiasi, untuk pertama kalinya saya kembali bertemua orang banyak. Di saat itu saya baru menyadari bahwa saya banyak kehilangan kata-kata, literally. Jadi ada saatnya saya mau bicara di depan banyak orang terus otak saya kaya nge-blank gitu, saya tidak bisa menemukan kata-kata dalam sebuah struktur kalimat bahasa, yang saya cari untuk mengungkapkan sesuatu. Saya pikir saya jadi bego. Untungnya kemudian saya bisa menemukan banyak pembenaran kenapa kapasitas otak saya terasa menurun 🤪

Dan lewat tulisan ini saya jadi berpikir kalau di saat itulah sebenarnya saya baru saja memasuki fase baru dalam hidup saya. Fast forward, 2 anak kemudian, saya tidak benar-benar menyadari dan menghayati transformasi non-fisik dalam diri saya. 

Satu minggu yang lalu saya berbincang dengan Kakak Wali Kelas Laut, anak pertama saya. Awalnya perbincangan masih di sekitar Laut; bagaimana dia di kelas, perihal dan pengalaman apa saja yang dialami Laut di dalam keluarga di rumah, dan sebagainya. Sampai kami pada sebuah titik perbincangan, "Kenapa ya, Laut suka buru-buru?" Karena ke-buru-buru-an-nya ini sering membuat Ia tidak teliti, kurang bisa menikmati proses dan percayalah, kadang bersamanya di saat-saat seperti itu sungguh annoying, dan ternyata bagi siapapun, bukan hanya bagi saya ibunya. Sampai pada suatu titik, salah seorang Kakak Wali Kelas melontarkan sebuah pertanyaan, "Tapi pertanyaan Bu, kalau di rumah, pacunya memang selalu cepat dan buru-buru gitu ya?" Saya hendak langsung menjawab tapi tertegun, "Eh...bener juga sih ya..di rumah tuh pacunya memang selalu cepat. Saya memang selalu memburu-buru semua untuk lebih cepat, dan lebih cepat lagi." pertanyaannya, "kenapa ya?"



Ternyata, akar "buru-buru" itu tertanam-nya di saya..welahdalaah..yang kurang bisa slowing down dan menikmati proses itu saya. Dan saya ternyata "proyektor" di rumah.

Penyadaran ini datang satu minggu yang lalu. Dan sebelum saya bisa proses pertanyaan "kenapa" dalam diri saya, ternyata banyak yang harus dibongkar dulu. Salah satunya mungkin lewat cara ini, menyadari transformasi atau perubahan-perubahan non-fisik yang saya alami. Gejala yang teridentifikasi adalah, 
  • Saya tidak lagi menikmati affiliated-but-unidentified-crowd. Kalau total stranger saya malah baik-baik saja.
  • Pun sudah teridentifikasi, saya tidak bisa dengan mudah bisa masuk ke dalam crowd tersebut, karena
  • Saya merasa kikuk menghadapi crowd
  • Saya menikmati kesendirian. Dengan buku, dengan pad menggambar, dengan media menulis
  • Tapi kadang di titik ekstrim sampai saya merasa terganggu ada noise "wajar" dari keluarga terdekat.
  • Mungkin salah satu efek baiknya (mungkin ya), saya jadi super fokus dengan tujuan saya. Saking fokusnya saya bisa marah-marah dan mengesampingkan semua yang stand in my way, hahaha. termasuk marah-marah sama orang-orang yang nyetir-nya-ya-ampun-deh di jalan. I DON'T CARE WITH OTHER PEOPLE. errr..setelah dituliskan ini kaya yang bukan efek baik dah 🫠
yang kemudian perlu saya dalami dan caritau mungkin penyebabnya. Salah satu cara yang mungkin saya bisa lakukan adalah dengan menulis ini. Mencoba memetakan dan mendokumentasikan isi kepala saya. Bercermin.

Untuk menutup tulisan ini, saya ingin menuliskan salah satu refleksi-refleksi awal yang saya petik. 

Kalau memang pointer-pointer tadi membuat saya cemas karena saya tidak lagi merasa valuable dengan cara lama, cara satu dekade yang lalu, mungkin saya harus mencari cara baru untuk merasa berarti. Tentunya tidak dengan menggantungkan value diri pada anak ya, karena mereka punya hidupnya masing-masing. Kami sekarang ada di jalan yang sama, bersama, tapi soon mereka akan menemukan bahwa ada jalan lain yang bisa mereka ambil untuk mewujudkan tujuan hidup mereka. Pada saatnya tiba, saya harus bisa legowo, salah satunya dengan menemukan juga tujuan hidup diri ini apa sih, dan living life, menapaki jalan untuk mencoba mewujudkannya. Bukankah hidup ini adalah perjalanan dan proses yang tak putus? Saya berkaca dari para orangtua murid di sekolah anak saya yang aktif di group whatsapp karena menulis, karena membangun koperasi, karena saling lempar tangkap guyonan. Semua sah-sah saja, saya harus bisa seperti mereka, to unlearn and relearn myself.

mati, hilang, dan kehilangan

Hari ini salah satu kawan saya berpulang, setelah sekian bulan, tidak hanya ia tapi juga istri dan anak satu-satunya berjuang melawan sakitn...