Tuesday, July 9, 2019
Ruang-ruang Sepi Perempuan
Dengan seksama ia bersihkan lipatan demi lipatan tubuh anaknya, sesekali ia menjawab celotehan anaknya yang ceriwis, dengan keriaan yang tak kalah, kelihatannya. Ia keringkan tubuh kecil yang masih saja berbincang itu, sesekali ia menerima kecupan mini dan pelukan kecil mengalung di lehernya dari perempuan ini. Mustahil Kartika merasa sepi dengan hujanan kecup dan peluk sehangat itu, namun nyatanya hati merasa lain.
Perempuan. Kartika seorang perempuan, pun kedua anaknya, perempuan-perempuan kecil. Ia selalu percaya bahwa perempuan adalah makhluk yang hebat karena kapasitasnya untuk merasa dan mengolahnya, jika saja mereka mengilhami setiap potensi yang ada pada diri mereka, dan cukup kritis untuk tidak terlena pada stereotipe yang dijatuhkan pada mereka, cukup kuat untuk melawan hasrat naluriah dan ego yang membawa mereka pada pemujaan diri sendiri. Jika saja setiap perempuan mengasah dan terus melatih kepekaan dan kemawas-diriannya, dan peduli serta berempati pada perempuan lainnya. Sederhananya, menghormati perempuan lain.
A Women's Body is a Temple, they said. Pikiran kritis dan luapan emosi di dada Kartika membuatnya skeptis. Perempuan yang mana?
Thursday, January 19, 2012
tidak cuma cuma
"tidak akan ada yang gratis di dunia ini..selalu ada harga untuk apapun..apapun yang ada di dunia ini."
di suatu sore sang dalang hendak menggelar pertunjukan wayangnya.
layar dijembar, kelir menyala.
tiba-tiba mendung membendung.
sang dalang mengangkat tangannya, menghadap ia pada awan kelabu yang mengendap, katanya, "kalau pertunjukkan ini buruk adanya bagi siapapun yang menonton, maka turunkanlah hujan sederas-derasnya, sebaliknya, jika pertunjukan wayang ini bermanfaat bagi siapa yang akan menontonnya, maka pergilah jauh awan jenuh! jangan kau turunkan hujan disini!"
sejurus kemudian, mengerti bagaikan kawan, sang awan menjauh ke tepian.
sakti memang sang dalang, begitu pikir orang-orang yang memandang.
pertunjukan berjalan lancar, hujan pun urung turun gencar.
yang tidak mereka tau, setelah pertunjukan tutup kelambu, penonton pulang satu-satu, sang dalang menyeberang sungai naik perahu.
setengah jalan, mendung menyusul perlahan.
tidak tanggung-tanggung, awan menghantarkan kelabu yang paling mendung.
sang dalang dipanggil, oleh awan mendung yang menggigil.
sang dalang menjawab, keluar geladak yang lembab.
diguyur hujan deras dadanya telanjang, berkata ia mewejang,
"tidak ada yang cuma-cuma di dunia ini..selalu ada harga untuk apapun. bahkan di alam semesta ini..terlebih hukum alam. tidak ada yang cuma-cuma..semua ada harga..."
sang dalang berperahu pulang, diantar hujan deras dan panjang.
"tidak ada yang cuma-cuma..semua ada harga.."
mewejang mulutnya, berkawan ia pada hukum alam semesta.
Thursday, April 8, 2010
surat pembaca dari anoa pesepeda yang merana
Wednesday, February 10, 2010
sederhana
Tuesday, January 26, 2010
kemanakah jalan menuju kantor pos asia afrika?
Thursday, January 14, 2010
oh..ternyata! hujan itu...
Friday, November 6, 2009
Perjalanan Siti mencari Situ
Alarm pagi membangunkan Siti, gadis desa (asal garut, mojokerto, atau magetan, tidak pernah jelas asal muasalnya) di bumi pertiwi kota jakarta.
Jakarta, saudara-saudara.
Kota metropolitan tempat para selebritis itu lho!
Pagi ini Siti bangun dengan panik karena harus menyelesaikan proposal. Kehadiran Siti di jakarta pun untuk mengantarkan itu proposal ke Situ (sebuah tempat berinisial jalan w-i-j-a-y-a 1 no 28).
Karena proposal belum diselesaikan, Siti panik dari pagi, hari ini deadline.
Maklum, Siti memang procrastinator handal Pembantu Ketua 1 geng “The Deadliners” (ada yang mau daftar, bay de wei?)
Siti panik dari pagi. Terhitung mulai jam delapan pagi.
Waktu berjalan dengan efektif.
Waktu mepet deadline memang dirasa waktu yang efektif dan membuat otak encer mengerjakan tugas tugas.
Dikejar pembunuh berantai bisa membuatmu berlari 10 kali lebih cepat dan efektif.
Percayalah..(apa yang dikatakan Rudy).
Waktu berjalan dengan efektif..sampai jam 12 siang.
Tinggal SEDIKIT lagi, Siti selesai, tapi saudara-saudara, tidak dibiarkan Siti merasa lega barang sedikit, karena mobil menuju Jakarta Selatan akan segera berangkat.
Bergegas Siti mandi. Tanpa berdandan dan dengan setelan rambut basah macam mba-mba nyuci baju di kali a la film Barry Prima, Advent Bangun, dan Yurike Prastica, Siti melompat masuk mobil. Dan kembali menyelesaikan sisa proposalnya di jalan.
First destination: Kampus Interstudi, Tendean.
Karena Tuan Besar 1 ada kuliah, maka perhentian pertama adalah kampus ini. Disini Siti turun mengharap ada secercah WiFi yang bisa Siti manfaatkan untuk mengirim proposal via eMail, kalau kalau Siti tidak menemukan Situ.
Jaga-jaga. (see, Siti pintar sebenarnya, walau dia procrastinator dan deadliners, tapi masih sedikit punya rasa tanggungjawab)
WiFi gagal digunakan. Komputer mini Siti tidak bisa tersambung.
“baiklah begitu, ke tukang print, dan di print aja, terus berjuang menemukan Situ”, Siti bertekad dalam hati dengan tulus dan semangatnya.
“ASTAGA, flashdisk masih di mobil, yaudah deh, ntar aja mindahin ke flashdisk nya di tempat nge-print” cetus Siti yang dengan cerobohnya meninggalkan perkakas di mobil.
“kira-kira ngeprint di SUBUR berapa ya?” Siti menilik dompet yang isinya hanya ada 3.000 rupiah.
“ASTAGA, berarti harus ke ATM dulu!”
Next destination: BCA
Bergegas lah Siti ke tempat parkir dan melesatkan Si Manis, mobil Tuan-nya ke ATM.
Parkir.
Seperti namanya, Bank Capek Antre, antreannya emang bikin capek mata. Dan pegel hati. Untung kaki Siti kuat. Maklum, gadis desa, betisnya aja segede Tales Bogor.
Bay de wei, disini ada 3 ATM penarikan dan hanya bisa dipake 1.
Long story long, uang sudah ditarik, 100ribu.
“yak, cukup lah yaaa..” batin Siti dengan polos.
Next destination: SUBUR
BCA dan SUBUR terletak sederet, dengan jarak lumayan lah. Dan sedihnya mereka dibangun di jalan one way. SUBUR udah kelewat. Jadilah Siti tidak punya opsi lain selain jalan kaki ke SUBUR, ga mungkin mundur naik mobil, lagian...
Lagian...
INDIKATOR BENSIN MOBIL TUAN SUDAH BERJARUM DI E!
Jalan it is.
Siti masih melenggang dengan ringan. Masih positippp otak nya yang suka nyangsang dimana mana itu.
Kali ini ia tidak lupa menenteng komputer mini dan flashdisk nya.
Sesampainya di SUBUR Siti mengambil nomer antrean dan tidak lama Siti dipanggil.
“Untung ngantre nya ga lama!” ceria sambut Siti.
Setelah memesan kertas, dan anu ini, Siti menanti print-print-an nya jadi.
Sambil menunggu Siti bertanya sama mas mas,”Mas, kira kira biaya nya berapa ya?”
Si mas: “kertas fancy nya 2, jadi 23.000 kali 2, blum ditambah print BW nya”
Siti dalam hati: “Mak, mati aku!”
Siti berujar dengan wajah menelan ludah tapi senyum: “Oh, oke d mas, uda jadi print print an nya?”
Si mas: “duduk aja mba, ditunggu, nanti dipanggil.”
...
..
Setengah jam berlalu...
Siti Dugem.
Ya, dugem.
Dugem!
Duduk gremet-gremet.
Siti: “Mas uda kelar, print-an saya?”
Si mas, sambil seperti tersadar dan berlari ke belakang: “Sebentar mba..”
Tidak lama Siti dipanggil ke kasir.
Mba kasir: “Total nya dengan jilid ring jadi 58.700, mba.”
Siti cuma senyum assem, sambil bayar.
Bergegas Siti berjalan kembali ke mobil untuk ke Situ.
Eh,
Apa isi bensin dulu?
Dilemma.. (seperti nama merk teh yang enak itu deh..hmmm..teh cammomile enak juga ni..*ctar!!* fokus fokus!)
Ok, singkat dilemma, akhirnya Siti memilih mengejar ke Situ dulu mengingat jam sudah menunjuk angka 3.
“Jalan aja, gausah pake AC! yang penting nyampe Situ dan proposal ini ga sia sia. Berjuaaaaaaang!” tekad Siti.
Next destination: Situ!
Jalan Wijaya I no.28
Siti tidak tau itu dimana sebenarnya, tapi ia bertekad mencari, berbekal bismillah.
Sekali cari, LANGSUNG dapet! Rumah nomer 28! “Cocok lah untuk menjadi sebuah sekretariat”, pikirnya. Setelah parkir dan turun Siti bertanya, “Mas, ini Seknas Habitat?”
Mas: “wah, bukan mba ini SALON”
Siti: “lho, kalo jalan wijaya I no.28 dmana mas?”
Mas: “oh..wijaya I si, lampumerah sana masih lurus lagi, situ Wijaya I mba..”
Siti: “oh, ok ok, makasih mas..”
NYASAR
Next destination: Situ part 2
Jalan wijaya I no.28
M A C E T ghila.
Berenti.
Bensin di jarum E.
AC mati.
Waktu menunjukkan jam 3.45 sore.
Siti memutuskan untuk parkir dan turun, mencari alamat dengan berjalan.
Beruntung Siti parkir di bangunan bernomor 30. Di tempat yang alamatnya runut begini, dan di lajur genap begini, perkiraan Siti rumah selanjutnya pastilah bernomor 28!
Ternyata keberuntungan-masa-kuliah-selalu-ga-ada-dosen-pas-bolos itu masih menyertai Siti.
BETUL, nomor 28!
Berbinar matanya..
Eh lho lho eh..tapi kok..RESTORAN?
Siti masuk.
Ternyata ini rumah makan “Bu Endang”
Alih alih mendapatkan Seknas Habitat, Siti bertemu Ibu Endang nya LANGSUNG!
Officially. Salah alamat.
“Eh, Nak, tapi kalo kamu jalan terus sampe sebelum lampu merah itu juga ada rumah nomor 28 lho..” cetus Ibu Endang yang rambutnya disasak a la nyonyah pejabat ini.
Secercah harapan kembali muncul.
Siti kembali berjalan kaki menuju lampu merah.
Next destination: Situ..euh..semoga.
Sesampainya di rumah sebelum lampu merah, Siti kaget.
Yang ia temukan adalah Rumah Tidak Terpakai, Rumah Kosong.
OH TUHAN!
Jalanan pun semakin macet.
Priority switched!
Cari pompa bensin
Cari WiFi
Kenyataan: JALANAN STUCK, BERHENTI, MACET TOTAL.
Tindakan: jalan kaki kembali ke mobil
ambil jalan memutar
Analisa: pom bensin terdekat, Senopati
WiFi terdekat, Bakoel Koffie Senopati
Ngeng!
Next destination: Pom Bensin Senopati
Macet dijalani.
Orang serobot serobot tidak dimaki.
Bis kota mengintimidasi dilalui.
AC mati masih diamini.
Yang penting sedikit lagi ketemu pom bensin!
Sabar sabarr!
Secercah harapan itu masih membuncah.
Setitik pengharapan itu masih berasa renyah.
3 meter
2 meter
1 met..
Lho lho lho, mata laler tolo tolo!
POM Bensin NYA DIBONGKAR?
Tidaaaaaaaaaaakkk!
4.34 pm
Get urself together Siti!
Cari pom bensin, cari pom bensin!
Analisa: pom bensin terdekat, Tendean
Tindakan: Cari jalan tikus!
M
A
C
E
T
Jarak kurang lebih 3 kilometer menuju pom bensin Tendean pun terlalui dengan waktu
S A T U J A M.
Tanpa A SE.
Siti yang sintal sudah mengurus sedikit sesampainya di pom bensin.
5.30 pm
Tepat saat itu superhero ibukota, Flying Yuppie Gummy Bear, menghubungi via satelitpon.
“Siti, kamu salah alamat, Jalan Wijaya I no.68”
“TAPI di infonya kan Jalan Wijaya I no.28”
“euh, mereka salah input..”
“...”
Mba mba bensin: “mau isi premium apa pertamax mba?”
Siti dengan tatapan nanar: “premium mba..”
Mba mba bensin: “berapa mba?”
Siti dengan tatapan nanar membuka dompet, cuma ada sisa 30rb: “20ribu mba”
Mba mba bensin: “baik, premium, 20rb, dimulai dari 0 ya..”
Flying Yuppie Gummy Bear: “Siti, Siti, halo?”
Siti dengan tatapan kosong: “ya?”
Flying Yuppie Gummy Bear: “dan deadline nya diperpanjang sampe 2 minggu ternyata..”
Siti: “...”
Flying Yuppie Gummy Bear: “halo, Siti? Bagus kan, diperpanjang..”
Sit...
Si..
S..
Siti terlalu lelah menghadapi dunia perkotaan.
Sungguh frase “Tua di Jalan” adalah benar adanya di ibukota metropolitan.
Siti bukan selebriti.
Siti terlalu lelah.
Situ enak, Siti?
Bagai putri duyung, Siti yang lelah hati berubah menjadi buih premium...
Mba mba bensin: “dimulai dari 0 ya..mba? Mba?”
Thursday, August 20, 2009
mahapati, kamu jahat sekali

Alkisah dalam sejarah majapahit pada saat Raden Wijaya berhasil mendirikan kerajaan dan menjadi Raja Majapahit, segera dibentuklah sebuah kabinet.
Adalah Arya Wiraraja yang sangat berjasa kepada Raden Wijaya. Saking besar jasanya, ia bahkan dijanjikan daerah sendiri pada saat Raden Wijaya telah berhasil menjadi raja Majapahit, semacam pembagian wilayah kerajaan.
Maka setelah Kerajaan Majapahit terbentuk, ditunjuklah Arya Wiraraja beserta anaknya, Arya Adikara sebagai rakryan menteri. Sedang yang menduduki jabatan patih amangkubumi adalah Empu Nambi.
Arya Adikara sebenarnya mengincar posisi jabatan “patih amangkubumi”, dan ia sangat kecewa pada keputusan Raden Wijaya yang tidak memberikannya jabatan tersebut, karena ia merasa memiliki andil yang cukup besar pula pada keberhasilan Raden Wijaya menjadi raja Majapahit, apalagi, ia adalah anak Arya Wiraraja yang jasanya juga sangat besar terhadap Raden Wijaya.
Arya Adikara memiliki nama hadiah dari raden wijaya, ialah Rangga Lawe. Rangga Lawe pun memberontak, meminta Empu Nambi dicopot dari jabatannya sebagai patih amangkubumi. Peristiwa ini dikenal dengan pemberontakan Rangga Lawe.
Saat peberontakan Rangga Lawe ini terjadi, adalah Lembu Sora yang menjabat sebagai rakryan patih Daha, ia adalah paman dari Rangga Lawe, meskipun demikian, ia tetap memihak rajanya, Raden Wijaya, saat Rangga Lawe kemenakannya memberontak.
Long story short, Rangga Lawe berhasil tertangkap, dan ia pun dibunuh secara kejam oleh Mahisa Anabrang. Melihat Rangga Lawe dianiaya oleh Mahisa Anabrang di tepi Sungai Tambak Beras, Lembu Sora pun tidak tega dan menusuk Mahisa Anabrang dari belakang sampai mati, bagaimanapun, Rangga Lawe adalah anak dari saudaranya. Menurut undang-undang Majapahit, sebetulnya Lembu Sora bisa saja dihukum mati, tetapi ia belum juga mendapat hukuman dari Raden Wijaya karena jasa-jasanya masih menjadi pertimbangan.
Kita tinggalkan sejenak Lembu Sora yang menghadapi kekalutan hatinya. Sementara itu kita mundur sedikit, kembali pada waktu dimana Rangga Lawe masih menjalankan usaha berontaknya. Di waktu yang paralel, adalah Mahapati, seorang pembesar yang juga berambisi menduduki jabatan patih amangkubumi, sama seperti Rangga Lawe.
Ia pun bersiasat licik untuk menjatuhkan Empu Nambi, tapi, kalaupun ia berhasil memfitnah dan menjatuhkan Empu Nambi saat itu, bisa saja yang akan ditunjuk menjadi patih Amangkubumi adalah Lembu Sora yang sangat setia kepada Raden Wijaya. Mahapati pun memutar otaknya yang cerdas sesungguhnya, sayang liciknya bukan kepalang. Jelaslah, ia harus menjatuhkan Lembu Sora terlebih dahulu sebelum menjatuhkan Empu Nambi. Dan peluang itu muncul bagai anugerah dewata padanya: pembunuhan Mahisa Anabrang oleh Lembu Sora.
Kembali maju pada alur Lembu Sora yang sedang kalut. Pada waktu yang sama Raden Wijaya pun sedang gundah hatinya, ia merasakah konflik yang terjadi di tengah-tengah kabinetnya, ia merasa ada sesuatu diantara para menterinya.
Disinilah Mahapati masuk...
Mengaranglah ia pada Raden Wijaya, bahwa para menteri sebenarnya menaruh keberatan karena ia belum juga menjatuhkan ganjaran sesuai hukum yang berlaku kepada Lembu Sora, tidak hanya itu, bahkan Lembu Sora sendiri merasa curiga terhadap kebaikan Raden Wijaya tersebut. Marahlah Raden WIjaya dan berjanji akan langsung mencopot jabatan Lembu Sora, Mahapati pun mengambil hati Raden Wijaya dengan menasihatinya agar jangan gegabah, seolah membela Lembu Sora dengan bijaksananya.
Pergilah kemudian ia pada Mahisa Taruna, anak dari Mahisa Anabrang, memanas-manasi hatinya.
Kemudian beringsut kembali Mahapati pada Lembu Sora dan berkata bahwa Mahisa Taruna, putra Mahisa Anabrang hendak menuntut balas dengan meminta bala bantuan dari Empu Nambi, dan ia nyatakan keberpihakannya pada Lembu Sora, mengambil hati dan kepercayaan Lembu Sora.
Ketika bertemu Empu Nambi, ia ceritakan bahwa Raden Wijaya hendak mencopot jabatan Lembu Sora dan menggantinya dengan Mahisa Taruna, ditambahkan, Mahisa Taruna juga sudah siap menuntut balas. Tapi keadaan yang ceritanya kacau balau itu berhasil Mahapati kendalikan dengan campurtangan personalnya. Empu Nambi pun terpikat dengan “kecekatan” Mahapati dan urun bantuan untuk mengurai simpul ini dengan menghadap Raden Wijaya dan meminta Raden Wijaya segera menghukum Lembu Sora agar tidak terjadi lagi ketegangan intern kabinet.
Lembu Sora sangat sedih mendengar desas-desus tersebut, ia pun bersama kawan-kawan setianya, Juru Demang dan Gajah Biru lebih memilih mati daripada dicurigai oleh raja yang pernah ia bela mati-matian. Mahapati masuk lagi, ia menghibur Lembu Sora dan mengatakan bahwa ia sudah berusaha sebisanya untuk mencegah Empu Nambi membujuk Raden Wijaya menjatuhkan hukuman padanya.
Sementara itu Raden Wijaya sudah memutuskan, mengingat jasa-jasa Lembu Sora yang tidak sedikit, ia tidak akan menghukum mati Lembu Sora, tetapi akan mencopot jabatan dan membuangnya. Lembu Sora dikatakan menolak keputusan tersebut. Raden Wijaya menjadi susah hati melihat hubungan karibnya dengan Lembu Sora, harus bersengketa. Mahapati di depan Raden Wijaya kembali membela Lembu Sora dan memberikan usul bagaimana kalau Raden Wijaya memberikan perintah tertulis saja dan ia akan memercayakan dirinya menjadi kurir. Raden Wijaya pun setuju dan surat diantar Mahapati pada Lembu Sora.
Surat dibaca Lembu Sora, ia pun memberikan jawabannya secara tertulis pada Raden Wijaya, isi suratnya berkata bahwa ia masih menaruh cinta bakti dan bersedia menyerahkan jiwa raga di hadapan Sang Prabu (Raden Wijaya). Ia tidak akan membantah meski akan diserahkan pada Mahisa Taruna sekalipun. Segera ia dan kawan-kawannya akan menghadap istana.
Surat tersebut diberikan pada Mahapati.
Dan Mahapati yang tidak puas pada reaksi Lembu Sora menyampaikan pada Raden Wijaya bahwa Lembu Sora dan kawan-kawannya sudah sepakat untuk khianat.
Maka saat Lembu Sora dan kawan-kawannya sampai di istana untuk menghadap Raden Wijaya, pengalasan mengatakan Baginda tidak bersedia menerima mereka, dan ketika Lembu Sora memaksa untuk masuk istana, alih-alih diterima oleh Raden Wijaya, Sora diserang oleh tentara Majapahit yang telalh dipersiapkan Empu Nambi.
Dalam perkelahian itu Lembu Sora, Juru Demang, dan Gajah Biru gugur.
Siasat Mahapati berhasil dengan baik.
Long story short, pada akhirnya Empu Nambi juga dijatuhkan oleh Mahapati dengan cara yang tidak kalah jahatnya.
DAN Mahapati pun pada akhirnya berhasil menjadi seorang Patih Amangkubumi
there u go. sebenernya cerita waktu dia menjatuhkan Empu Nambi kemudian itu SAMA jahat dan liciknya! gila banget lah orang ini. jahat pisan san san.
saya jadi inget kata-kata temen saya: "ada dua macem orang yang selalu dapet kemudahan dalam mewujudkan keinginannya mit! kalo ngga di bener-bener baik, dia BENER BENER JAHAT."
ya, dalam kasus ini, terbukti! karena si Mahapati ini tampak selalu dapat kemudahan dan jalan, padahal dia jahat bukan main. suka jadi kesel sendiri, kan kasian Lembu Sora.
Totto-chan: Sebuah Ulasan
Segera setelah adegan terakhir Totto-chan membuka pintu kereta yang masih berjalan sambil menggendong adik perempuannya yang masih bayi, lal...

-
Cicing = anjing kasar (khahahahaha di bandung kan artinya diem, saya jadi kebayang, “Cicing siah!” berarti bisa berarti “Diem kamu!” atau “a...
-
too much to say leave a silence. what will tomorrow fells like without u, i wonder,, what will a small tiny caterpillar feels without it...