Wednesday, February 20, 2019

Graz: Day 0

Project yang sedang saya kerjakan saat ini tentang riset lebah memberikan saya kesempatan untuk kembali mengunjungi Eropa. Kali ini saya ke kota Graz di AustriaπŸ˜€
Rasanya campur aduk. Bersyukur jelas, karena saya suka banget jalan-jalan on a mission 😎 tapi cemas juga karena harus jauh dari Laut dan Koral selama beberapa hari. Ada artikel menarik dari NY times yang khusus membahas tema ambivalent dalam motherhood ini.



Eniwei, rindu dan galau sama duo ngarang rewel doesn't mean i didn’t enjoy the trip. Again, this ambivalent thing. Haha. Saya anxious, excited, happy, and worry at the same time. Apparently one is able feeling it all at the same time :p

Perjalanan panjang sudah dimulai dari kereta Bandung - Gambir, nyambung DAMRI, dan boarding ke dalam pesawat.  Oya ada yang menarik dari proses melewati imigrasi di Soeta terkait “paspor TKI” saya. Di postingan sebelum ini saya cerita bahwa saat di kantor imigrasi Bandung, saya meminta paspor 24 halaman saja (dengan pikiran sayang kertas *dan uangnya, hahaha* karena banyak ga kepake halamannya kalo bikin paspor 48 halaman), saya merasa ditakut-takuti, dengan pertanyaan

“Yakin, Mba mau paspor 24 nih? Diterima ga sama kedutaan nanti bikin visa?”
“Emang kenapa Pak, saya baca minimal harus ada 3 lembar kosong saja kok untuk apply visa.”
“Soalnya biasanya, biasanya lho ya, bukan pasti..paspor 24 halaman itu biasanya dipake untuk TKI”
Dalam hati ingin sekali bertanya dan memanjangkan diskusi, memangnya kenapa TKI? Mereka memberikan devisa negara lebih besar daripada kontribusi pajak penghasilan ditambah pengabdian sampean barangkali, belum ditambah resiko teraniaya yang menjadi beban mereka. Kzl maz. 




Aneh deh, bahkan orang kita sendiri, petugas imigrasi mendeskreditkan TKI. Saya juga tenaga kerja. Dari indonesia. Hih. Well anyway, lanjut fast forward saat saya melalui proses passport check sebelum masuk gate keberangkatan, petugas imigrasi di bandara mengerutkan dahinya sambil melihat passport saya, kemudian ia bertanya,

“Paspornya baru ya?”
“Iya.”
“Tujuan?”
“Graz, Austria”
“Keperluan apa?”
“Ada meeting.”
“Boleh lihat tiket pulangnya?”

Memperlihatkan tiket pulang di aplikasi handphone.

“Ini emang dikasih paspor-nya ini? Kok aneh ya?”
Dia bertanya retoris karena lebih seperti bertanya ke diri sendiri dengan suara pelan, sambil membolak-balik paspor dan visa saya.

“Kenapa anehnya Pak?”
“Soalnya biasanya paspor ini untuk TKI..”

Saya yang capek dan terangkat lagi rasa kesalnya, memutuskan untuk ga meladeni innerself saya untuk ngajak “diskusi” Bapak Imigrasi. Saya ambil paspor saya yang sudah di cap dan melesat ke gate keberangkatan. Udah mepet soalnya, hehe πŸ˜… kelamaan makan dan mengagumi terminal 3 *ndesit mode on *maklum orang daerah, liat jakarta melongo terus.

Long story short, setelah terbang dari Jakarta - Kuala Lumpur, dan kembali ke pesawat untuk terbang panjang ke Schipol, Amsterdam, saya mendapati...

Bahwasannya..

Saya duduk disamping mba dna mister yang pacaran 😳

Dan hati saya mau tak mau bernyanyi,

“Betapa maaaalang nasibmuuu..”

Dan lagu,

“Nyamuk..nyamuk..membuat badanku, tak bisa gemuk..nyamuk nyamuk tak pernah mau mengerti, padahal ku sudah tak tidur..dua..hari..”

#YouSingYou’re90s



Yaudah deh, segitu dulu ya, cerita sesampainya di Graz nanti lagi, mau siap-siap dulu, saya mau hiking dulu hari ini 😎 diajak sama partner meeting yang datang dari Jerman tapi punya sepupu tinggal disini. Saya bilang blum pernah lihat salju ever in my life. Dia kesian kayanya sama saya. Jadi hari ini dia mau ajak saya naik cable car ke atas salah satu bukit (apa gunung ya? Lupa saya, nanti saya cerita ya kalo udah pulang) disini yang masih bersalju.

Saya mau coba pegang salju.

For
The
First
Time
In
My
Life
πŸ˜†πŸ˜†πŸ™ŒπŸΌπŸ™ŒπŸΌ


Ciao!

mati, hilang, dan kehilangan

Hari ini salah satu kawan saya berpulang, setelah sekian bulan, tidak hanya ia tapi juga istri dan anak satu-satunya berjuang melawan sakitn...