Showing posts with label self reminder. Show all posts
Showing posts with label self reminder. Show all posts

Friday, August 16, 2019

Saat Rudi Berkata



Satu kali dulu saya pernah terpilih ikut turnamen taekwondo mewakili sekolah, pengalaman berharga seumur hidup. Saya bukan atlet, hanya siswa yang ikut ekskul, tapi karena pelatih saya melatih atlet, jadi latihan ekstra kala itu digabung dengan latihan atlet. 

Atlet yg juara itu benar-benar hebat dan kuat mental sih, percayalah (apa yg dikatakan Rudi). 

Waktu itu menu rutin kami diantaranya lari keliling lapangan sekian puluh kali, sit up sampai 300 kali (saya dikasih voor boleh 100 saja, 150 juga sudah bagus), latihan menendang target entah berapa ratus kali masing-masing kaki, diiringi teriakan-teriakan, "Lageee, lageee! Speed lagee! tambah lagi speednya! Lagee! Lagee!". Hari pertama saya ga kuat sampai rasanya susah napas, sampai mual mau muntah, literally mau muntah. Saat saya whining, 

“Sabam..saya..hh..hh..mau muntah”, 

Beliau mendatangi saya, membawa saya duduk di tepi, duduk di samping saya dan berkata, 

“Kalo kamu mau muntah, dimuntahin aja. Setelah itu kamu balik lagi latihan.” 

Rasanya waktu itu mau nangis, tega banget dah sabam. Tapi terus melihat saya agak shock beliau balik lagi, memberi wejangan, 

“Kita semua punya batas di pikiran kita. Kita pikir batas kemampuan kita hanya segini,” 

Ucap beliau seraya mengangkat telungkup telapak tangannya menyamping sejajar mata saya.

"Tapi itu pikiran kita. Kita yang buat batas itu. Sekarang kamu pikir. Dorong batas itu. Buat di pikiran kamu kalo batas kamu segini,"

Beliau naikkan telungkup telapak tangannya sejajar kening saya.

"Sampai nanti kamu merasa ga kuat, pikir lagi, dorong lagi dia, naikkan sampai segini,"

Naik lagi telapak tangan beliau sampai lewat ujung kepala saya.

"Semua ada disini,"

Sekarang berpindah telapak tangannya, menunjuk pelipis kepalanya sendiri.

"Yang membedakan atlet juara dan tidak itu pikirannya. Untuk bisa juara, kamu perkuat fisik kamu dengan latihan. Tapi saat tanding, yang membuat kamu juara adalah pikiran kamu. Saat kamu percaya kamu tidak kuat, akan kalah, kamu akan kalah. Tapi kalau kamu dorong batas kamu, rasa lelah kamu, sesaat lagi, sesaat lagi, terus dorong batas itu, sampai kamu menang, kamu akan menang. Kamu akan menang, karena kamu dorong pikiran kamu sampai kamu menang. semua ada disini, dan yang membuat atlet juara adalah pikirannya."

Saya termenung, saya bisa merasakan mata saya melebar, lelah saya memudar, semangat saya terbakar. Tak lama saya kembali lagi ke matras latihan.

Fast forward delapan belas tahun kemudian.
Saya menemukan diri saya tergenang dalam air mata tekanan seiring dengan task list dan to do list pekerjaan, juga tekanan batas tenggat waktu. Belum lagi kontribusi tuntutan kewajiban tugas meng-ibu.
Saya menemukan diri saya whining dan menangis lagi, seringkali. Sekarang coach saya bukan Sabam Karji, marinir KKO yang melatih taekwondo atlet-atlet, tapi Saska, suami saya.

Sekarang, di titik ini, saya kembali menjadi Mita si anak SMP yang sedang latih tanding untuk turnamen taekwondo mewakili sekolah. Pelan-pelan saya dorong batas yang saya ciptakan sendiri di pikiran saya. Pelan-pelan, saya berusaha eling di tengah-tengah kegilaan. Tips tambahan dari Saska untuk saya,

"Kerjain satu-satu yang ada di depan kamu. Tentukan prioritas."
"You don't need to prove anything to anyone; luruskan niat kamu bekerja. Kalau kamu gagal setelah kamu udah usaha maksimal, tinggal minta maaf, pasti ada resikonya, tapi bisa dihadapin."

Saya sadar, bahwa real work ya begini. Tidak peduli apa kerjanya, yang namanya pekerjaan ya begini. Memutuskan untuk kembali bekerja berarti harus siap meghadapi tekanan. 

Real works means real pressure. No shit. HAHA. 

Apapun pekerjaannya, saya pikir, tekanan sudah hampir pasti akan datang bersama dengannya. Kalau saya punya target kualitas apalagi. Bahkan pekerjaan mendidik dan merawat anak sekalipun. Saya ingat salah satu tulisan Pramoedya Ananta Toer yang saya baca dan menginspirasai saya jaman kuliah, lupa persisnya, tapi kira-kira seperti ini,

"Seumur hidup, orang itu berkarya. Bekerja apapun itu, itulah karyanya. Ibu-ibu jaman dulu di kampung itu ya berkarya seumur hidup. Membuat sabun, membuat sapu lidi dari daun kelapa, bekerja kolektif memasak saat tetangga ada hajatan. Selama manusia berkarya dia akan hidup."

Apa yang kita kerjakan, itu hasil karya kita. Dan serunya, seumur hidup kita, kita berkarya, tinggal bagaimana karya kita. Apa mau membuat karya dengan penuh penghayatan, atau sekenanya saja. Hasil akhir itu hanya konsekuensi, yang berharga itu prosesnya.

Rewind delapan belas tahun kebelakang, saya kalah pertandingan di ronde kedua, dengan skor yang sangat tipis. Di pinggir lapangan Sabam saya menghibur, 

"Gapapa kamu kalah, kamu sudah berusaha. Ini hasil dari usaha kamu. Toh ini kan pengalaman pertama kamu, jadi sekarang kamu tau. Lain kali kamu harus kuat, jangan biarkan pikiranmu mengalahkan semangat juangmu."

Sejak saat itu, tidak ada "lain kali" yang lokasinya adalah matras pertandingan taekwondo di Gedung Olahraga Simprug. Beberapa tahun setelahnya saya pikir saya tidak akan dapat kesempatan lagi mengejawantahkan pesan-pesan Sabam Karji. 

Tapi ternyata saya salah. Kini saya berjumpa lagi, tapi arena pertandingan saya ganti lokasi dan cabang olahraga.


Bandung, 16 Agustus 2019.
Rudi.
*biar kata-kata saya terpercaya

Tuesday, March 28, 2017

guilt-free parenting, parents talk by Pustakalana and Bright Beginning


Pengantar diskusi ini adalah, di era sekarang, dimana informasi itu dengan mudahnya bisa terakses, sengaja maupun tidak, belum lagi algoritma ngeri search engine dan media sosial, membuat kita terpapar dengan banyak sekali informasi, termasuk informasi parenting. Belum termasuk share dari berbagai group chat. sedemikian mudahnya membagi berita sampai kadang jadi simpang siur mana yang benar teruji bisa diterapkan mana yang konsep mengawang-awang-manunggaling-kawulo-gusti.

Pencitraan sempurna di media sosial juga seringnya membuat berbagai ibu yang gegap gempita dengan arus informasi, depresi karena merasa kurang sempurna menjadi seorang Ibu.

Berkaca pada pengalaman pribadi, saya sendiri pun seringkali merasa bersalah. Contohnya, jikalau di siang hari anak pertama "bertingkah" dan stock sabar saya sungguh sedang tipis karena ada palu imajiner berulang memukul kepala saya sampai berdengung,  "deadline, deadline, deadline". Kemudian disaat yang bersamaan, naga dalam perut saya demo akibat belum diberi sesajen dari pagi sementara saya belum sempat masak sama sekali, karena seharian belum juga duduk, disibukkan dengan olahraga cuci baju-cuci piring-jemur baju-menyusui-lipat baju dari jemuran-gendong si adik. Dan naga lapar yang terpelihara dalam perut saya di fase menyusui ini buasnya minta ampun. Jadilah saya ambil jalan pintas untuk bertengkar dengan si sulung. Kalau sudah habis drama satu musim pertikaian, untungnya kami terbiasa saling meminta maaf, memeluk, dan mencium dan saling menyatakan rasa sayang masing-masing, tapi...bukan berarti semasa bertikai tadi tidak terjadi apa-apa. Terbukti dengan, di lain waktu, jika saya mendengus sedikit saja, atau si sulung melakukan kesalahan sedikit saja (yang mana sangat wajar, namanya juga anak-anak) dengan refleks ia akan langsung menatap saya dengan mata bundar besarnya, pupilnya melebar, ia khawatir, lalu berujar cepat, "Ibu ga marah?" beberapa kali. Pilu rasanya hati saya. Segitu buasnya saya ya? Sama dengan ibu-ibu normal lainnya, saat si sulung tertidur saya seringkali menatapnya, hati saya tergerus, tenggorokkan saya tercekat, dada saya sesak akan rasa penyesalan. Dan sama juga dengan ibu-ibu normal lainnya, siklus diatas akan berulang kok di kemudian hari, begitu terus, entah sampai kapan, saya harap sih tidak usah terulang lagi ya, tapi prakteknya cyin.. *kehilangan kata-kata *cuma bisa lempar bantal ke penonton *sambil senyum malu malu buas *lari ke backstage *cari kueh manis *laper *anaknya gampang banget laperan sih *bukan baperan, catat, tapi laperan

"Rasa Bersalah" ini sesungguhnya wajar. Sangat wajar. Karena itu tandanya saya masih ingin menjadi lebih baik lagi. Sampailah pada beberapa minggu kebelakang, saya berdiskusi dengan teman saya Arie dan Chica. Ardhana Riswarie, seorang art therapist yang menjadi pembicara di Parents Talk ini dan Chica, founder dari Pustakalana, perpustakaan anak yang punya program-program anak dan orangtua, yang menampung acara Parents Talk.




Dalam diskusi itu tersebutlah sebuah keyword, "Guilt-free Parenting". Jadi sesungguhnyalah rasa bersalah itu wajar, yang tidak wajar adalah jika kita, saya, sebagai ibu, terus-terusan bergumul dengan rasa bersalah itu. Maka sepakatlah kami untuk membuka ruang diskusi bagi para orangtua bertemakan "guilt-free parenting" karena saya rasa banyak sekali diluar sana rekan seperjuangan yang relate dengan siklus rasa bersalah tadi. Arie juga menawarkan solusi bagi para ibu yang punya "hantu" rasa bersalah. 

Acara dibagi menjadi dua sesi; sesi diskusi tanya jawab dan mini workshop. Dalam sesi diskusi Arie dan Melva (psikolog dan play therapist) menjelaskan perkembangan dan milestone anak usia pra-sekolah. Setelah itu ditutup dengan mini workshop membuat mandala, dipandu Arie, serta proses reflektif dari mandala masing-masing peserta.

Ada beberapa poin penting yang saya catat untuk saya bawa pulang, pengetahuan baru dan bahan bakar untuk stock sabar saya yang tipis dan usang.



  1. Tahapan perkembangan emosi anak menurut Erikson. Disini yang dibahas 3 tahapan pertama, sampai usia prasekolah (pojok kiri bawah di catatan)
    • Tahapan trust vs mistrust (usia 0-1,5 tahun): Pada tahapan ini anak belajar mengenali orang-orang disekitar mereka, anak akan belajar apakah ia bisa mempercayai orangtuanya, orang-orang sekitarnya. Pupuk kepercayaan anak pada diri kita sebagai orangtua di tahapan ini. Targetnya, selesai tahapan ini anak merasa aman berada dalam lingkungannya.
    • Tahapan autonomy vs shame and doubt (1,5 - 2 atau 3 tahun): Nah ini, anak pertama saya sedang berada di tahapan ini, menuju tahapan selanjutnya. pada tahapan ini, anak sedang senang-senangya mengeksplorasi batas kemampuan mereka sendiri. Mau pilih baju sendiri, punya pendapat sendiri yang bertolak belakang dengan aturan orangtua (kemudian menuntut pendapatnya yang diikuti semua khalayak rumah), mau ikut masak, mau ikut cuci piring, mau ikut jemur, merasa bisa makan sendiri (kemudian berantakan), dan lain sebagainya. Di tahap ini, seringkali orangtua kurang sabar meladeni anaknya (iya, saya maksudnya *tunjuk tangan), dan besar godaan untuk menyabotase proses belajar anak di tahap ini. Jebakannya (saya sih merasa ini jebakan, haha) karena ini tahapan autonomy vs shame & doubt, jika saya memarahi anak atas proses eksplorasinya (yang seringnya merepotkan alih-alih membantu, ya namanya juga proses eksplorasi ya..) maka ia akan merasa dihakimi, dan bisa jadi defensif. Terjadilah episode demi episode pertikaian. Melva memberi contoh saat anak di usia ini sedang belajar pipis di kamar mandi kemudian ngompol. Di contoh ibunya tidak marah alih-alih mengajak si anak mencuci sendiri celananya dan berkata, "oh, ini waktunya ganti celana dan mencucinya", lalu saya membayangkan ibu-ibu dengan cahaya dan sinar lembut dari belakang menerangi rambut halusnya yang panjang dan rapih, baju putihnya yang bersih membalut sempurna di badannya. Sementara di kasus keseharian saya, saya akan refleks menyatukan kedua alis saya di tengah, mendengus kesal, sedikit melotot, rambut acak-acakan (karena emang dari bangun tidur gakan sempet nge-blow ke salon, sampe kapanpun sih kayanya gakan sempet), baju bau asi dan ada noda disana-sini, akibat belum ganti baju karena belum sempat mandi dari kemarin, apalagi keramas. Apalagi kalau dia ngompolnya diatas sofa. yuk mariii *lambai-lambai silk scarf manja. tumbuh tanduk mungkin sejenak. Pada tahap ini, anak akan belajar, akankah ia menjadi mandiri, atau akan terus tergantung pada ibu atau orangtuanya?
    • Tahapan initiative vs guilt (antara 2 atau 3 tahun sampai 6 tahun): Pada tahapan ini, pola prilaku dan sosialisasi yang sudah anak dapat di rumah, akan menjadi caranya melihat lingkungan sosial yang lebih besar. Disinilah terjadi proses eksplorasi dan penemuan hubungan-hubungan sosial. Dimana ia berada dalam lingkungan masyarakat, dalam pertemanannya di keseharian. Bagaimana ia mengidentifikasikan jati dirinya, kesukaannya. Di tahap ini pula mulai berkembang keterampilan leadership dan decision making. Melva memberi contoh, seorang anak perempuan bernama Tini, usia 5 tahun, yang ingin menjadi pemain sepakbola kemudian dilarang ibunya. Ibunya berkata bahwa sepakbola itu untuk laki-laki. Di hari ulangtahun Tini, alih-alih mendapatkan bola seperti yang ia minta, ia mendapatkan boneka barbi. Tini pun marah dan membanting barbi-nya didepan banyak tamu. Pada tahapan ini sebaiknya orangtua tidak dengan mudah dan cepat menghakimi identitas yang sedang dicari anak, karena inilah tahapan mereka mulai punya inisiatif atas diri, mengidentifikasi hobi/kesukaan mereka dengan "ke-aku-annya". Karena segala penghakiman di tahapan ini akan membuat mereka bertanya reflektif, "am i good or bad?"
  2. Fungsi-fungsi otak; dari belahan secara vertikal dan horizontal dan hubungannya dengan kebutuhan anak dan apa yang harus kita penuhi berdasarkan fungsi otak tadi (gambar otak di kiri atas dan dibawahnya)
    • Jika dibelah secara horizontal, otak manusia terdiri dari 3 bagian: (dari bawah ke atas) Reptil, Mammal, dan Rational. Ibarat sebuah rumah, Reptil adalah fondasinya, Mammal adalah badan rumahnya, Rational adalah atapnya. Bagian Reptil bertanggungjawab mengendalikan rasa takut dan kemampuan bertahan (survival). Jika anak sudah merasa aman (terkait dengan tahap pertama tahapan Erikson), maka ia bisa belajar untuk mulai mengolah emosinya, yang dikelola oleh bagian otak Mammal, ditengah. Jika ia bisa mengenali dan mengolah emosinya, maka ia akan bisa meraba logika dan mengasah kemampuan berpikirnya, dikendalikan oleh bagian otak diatas, Rational.
    • Seperti kita semua pahami, bahwasannya otak kiri bertanggungjawab pada segala logika berpikir serta eksakta, dan otak kanan bertanggungjawab pada olah rasa emosi dan seni. Meskipun demikian, mereka tidak bisa dilihat secara terpisah, adalah diantara mereka corpus callosum; the great mediator. Lewat corpus calosum ini kita bisa membantu bagian otak yang kurang dominan ikut berkembang. Contohnya, untuk membantu anak kesulitan belajar (otak kiri), digunakanlah terapi dengan pendekatan seni, agar dengan terapi olah rasa tadi, lewat corpus callosum terbuka jalan menuju otak bagian kiri.
  3. Kontrol perilaku X kontrol psikologis
    • Kembali ke tiga tahapan pertama anak menurut Erikson serta fungsi otak, dalam memaksimalkan perkembangan anak, sebaiknya kita tidak mengendalikan anak lewat tekanan secara psikologis, alih-alih kendalikan perilakunya. Contoh, jika anak berulah, ganti reaksi atau pertanyaan, "Kamu sayang ibu ga sih? Kamu ga sayang ibu ya?" atau "Kamu tuh, selalu bikin ibu kesel, ga nurut!" kedua reaksi tadi "menyerang" emosi dan konsep diri sang anak, bisa menyebabkan kebingungan dan ia adopsi sebagai jati dirinya. Jika kita mengendalikan perilaku anak, kita harus spesifik dengan perilaku mana yang kita anggap salah dan tidak menekan perasaan atau sisi psikologisnya. Saya rasa secara bahasa mungkin ga banyak berubah, tapi di titik ini kita harus bisa mengendalikan emosi diri kita sendiri sehingga bisa bertanya dengan ti'is style (gaya bertanya non-emosi/emosi netral). Contoh, "Kenapa kamu ngompol?" tidak dilanjutkan dengan embel-embel drama, "kamu tau ga sih, kerjaan Ibu tuh banyak. Kamu selalu deh ngompol (bener gitu selalu?). Kamu ga sayang Ibu ya (mulai..mulai..)?" atau, "Kenapa kamu nangis teriak-teriak?" tidak dilanjut dengan, "Berenti nangis, jangan nangis, kamu malu-maluin!". Dijawab atau tidak, selama si anak memiliki pendengaran yang normal sebetulnya ia mendengar, percayalah, tapi ia belum selesai mengolah emosi yang sedang dirasakannya. Beri ia waktu, jika sudah kembali tenang, coba ajak bicara lagi, bernegosiasilah dengan sabar seperti menghadapi kabel merah dan biru pada bom di film-film action yang dibintangi Sylvester Stallone.
  4. Beri batasan (gambar lingkaran di kanan tengah)
    • Dalam rangka mengontrol perilaku, untuk membantu, kita bisa menciptakan "dinding batasan", bernegosiasilah di awal dan konsistenlah dengan perkataan dan konsekuensi di awal. contoh (a) kasus paparan gadget: diawal bernegosiasi "30 menit ya.." si anak pasti tidak pikir panjang langsung setuju, yang penting dapet. Pasang timer, menjelang 30 menit, ingatkan anak, "sebentar lagi selesai ya.." satu kali, dua kali, sampai timer betul berbunyi. Minta gadget baik-baik, dan beri pengertian akan kesepakatan di awal, untuk menghormati kesepakatan dan menepati janji. (b) kasus anak susah mandi: beri batasan yang jelas dan definitif, misalnya, pokoknya dalam 1 hari anak harus mandi. Batasan ini harus juga sudah mendapat kesepakatan anak ya. Jika pagi anak tidak mau mandi, coba beberapa jam kemudian, terus sampai sore. Ingatkan kembali perjanjian di awal, jika tidak mau juga sampai waktu mandi lewat beritau konsekuensi nyata dan logis yang bisa ia dapat kalau ia tidak mandi, seperti bau, gatal, atau rasa tidak nyaman karena keringat. Dengan penyampaian apa adanya dan tidak berusaha menakut-nakuti tentunya yaa :)
    • Tentu saja batasan-batasan ini harus sesuai dengan gaya hidup orangtua atau pengasuh. be realistic. Kalau ingin anak mandi, tentunya ia harus melihat orang-orang di sekitarnya selalu mandi. Kalau ingin anak tidak terpatri pada layar gadget, tentunya orang-orang di sekitarnya juga harus punya hidup diluar layar gadget, dan seterusnya.
  5. How to deal with guilt and keypoints takeaway
    • huff! akhirnya, poin terakhir! OKEH, ini yang paling penting. "Gimana ya, saya sudah terlanjur sering "menyerang" psikologis anak, lihat, dia dikit-dikit nanya, Ibu ga marah, saya udah salah banget ini, salah terus? Jadi saya salah? Saya bukan ibu yang baik?" *nangis sambil lari-lari keluar bangunan nyari air ujan. Kalo kata Arie kemarin, ya nggak gitu juga. coba diterima rasa bersalah tadi, akui kita sebagai orangtua, sebagai Ibu melakukan kesalahan. Setelah diterima dan diakui, coba cari waktu yang tepat untuk dibicarakan dengan anak. Contoh, saat anak bertanya, "Ibu, Ibu ga marah?" waktu ia menumpahkan setitik air susu di lantai, setelah menjawab, "Enggak.." coba tanya balik, "Kenapa kamu pikir Ibu marah?" kalau ia bisa menjawab coba respon jawabannya dan beri pengertian bahwa kita marah saat itu karena, misalnya, saat ia menumpahkan susu tempo hari, kita sedang banyak pekerjaan, sehinggahal kecil membuat kita marah. Mintalah maaf dan berikan konfirmasi bahwa itu bukan kesalahan si anak, tapi situasi kadang tidak ideal dan membuat kita, sang Ibu, menjadi marah.
    • Segala hal yang membuat kita merasa bersalah pada anak, coba diluruskan lewat percakapan-percakapan. Bisa dibuka dengan cerita dongeng yang mirip atau menganalogikan, bisa dibuka dengan cerita sambil menggambar, atau menunggu waktu anak bertanya. Meminjam istilah Arie, "Ya tinggal diluruskan aja, sama anak.."
    • Tidak usah merasa bersalah jika kita tidak bisa 24 jam selalu in-tune dengan anak, karena memang wajarnya kita punya jeda agar pribadi masing-masing masih punya ruang untuk berkembang. Walau anak lahir dari rahim kita, tapi kita dan mereka adalah dua individu. Dan dua individu selalu perlu jeda dan ruang gerak. Kita selalu bisa "kembali" ke frekuensi anak saat ia membutuhkan kita atau "pergi" dari frekuensi anak saat kita perlu waktu untuk mencerna hal lain.
    • Kreatiflah dalam bernegosiasi saat menyepakati batasan. Gunakan contoh kasus pada buku cerita favoritnya, gunakan pretend-play, gunakan tokoh imaginary, gunakan apapun. sekali batasan sudah disepakati kita memiliki jangkar untuk mengendalikan perilaku anak alih-alih menyerang sisi emosi dan psikologisnya.
    • kembali mengutip Arie, "Parenting itu 10% knowledge, 90% intuisi" semua teori yang pernah kita lahap, pada akhirnya harus menyesuaikan kebutuhan anak yang sangat berbeda-beda. Asah intuisi kita sebagai orangtua, sebagai Ibu, karena at the end of the day, that is the most powerful tools that we have, beyond any theories :)
Sekian buibu, pakbapak! huf udah kaya nulis sripsi! mudah-mudahan tulisan panjang lebar ini bermanfaat yess! 

Please stay sane whenever, wherever you are. Karena hanya jika kita bisa mengakses pintu-pintu emosi kita sendiri, baru kita bisa mengolahnya, untuk kemudian bisa menghadapi anak dengan ti'is style tadi. Terimalah, akuilah bahwa kita tidak akan terus bisa waras, tapi bukan berarti kita selalu tidak waras (pindah alamat dong ke Sumber Waras Tidak kalo gitu), kita selalu punya pilihan untuk mengambil pelajaran, menerima rasa bersalah, kemudian move on dan mengurai simpul masalah satu persatu.

semangaaat!

tertanda,
penghuni sumber waras tidak

:p

Wednesday, July 29, 2015

belajar hidup sederhana

Hidup sederhana bukan berarti hidup susah.
Berarti, hidup disiplin.

Disiplin dalam membuat perencanaan dan benar-benar menjalaninya.

Disiplin tidur cepat, dan bangun pagi.

jadi sempat: ngobrol pagi dengan kalbu, mencuci baju, siapin sarapan dan makan siang sebelum siang.

jadi bisa kerja sesuai jadwal di sore hari. Bebas dari kejaran deadline.

jadi bisa bahagia.

karena kalau ga bahagia, harganya mahal.
gagal deh bisa hidup sederhana.

jadi, silakan bahagia*

*mengutip surayah pidibaiq yang novelnya "Dilan" sedang kutamatkan.

Wednesday, April 15, 2015

kembali menjejak bumi

Ground Control to Major Tom
Ground Control to Major Tom
Take your protein pills and put your helmet on

David Bowie - Major Tom 


Beberapa hari belakangan ini, sedikit demi sedikit saya mulai merasa kembali punya kendali atas hidup saya sendiri.

being a mother, a lover, a wife, a worker, sure is overwhelming. at least for me.

dari masa kehamilan yang mulai terlimitasi, hibernasi total di setengah tahun pertama Laut lahir, mulai juggling coba-coba test the water untuk kembali bekerja, sampai sekarang, satu setengah tahun kemudian, bekerja kembali sungguhan, walau part-time.

being a worker (a responsible one), a wife, a lover, a friend (both to ur daughter and ur husband), sure is overwhelming. at least for me.

beberapa hari belakangan ini, dibantu Saska, saya kembali mulai bisa menjalani keseharian saya secara efektif. Laut tidak berkurang nagging-nya, tapi saya mulai bisa mengatur ekspektasi saya, dan mindset saya, bahwa saya bekerja, tapi prioritas saya adalah kecukupan Laut.

yes, managing expectation.
that's what it takes.

not as simple as it sounds, though.
one need to exercise it, get through it, over and over.
failing one, and try another.
i'm sure there will be another failure in the near future, but i just need to adapt and try another round.

kembali bergosip dan tertawa lepas bersama Tia dan Maknyes di sesi dapur trial Bakingwithkids, sambil Laut minta digendong-menyusu-diajak main keluar, tentunya. teman baik yang seperjuangan, is truuuully a blessings!

kembali berdiskusi dengan koordinator program dan pelan-pelan menyusun rencana bersama komunitas untuk merencanakan berbagai perbaikan bersama program CreativeNet.

kembali berdiskusi dengan teman, dan mendapat banyak tambahan pengetahuan baru.

kembali secara rutin membuka laptop, walau kadang, di hari-hari tertentu, i can't even type or read a thing *sambil gendong anak perempuan yang bergelayutan di kaki minta kue manis

kembali ngemil kue-kue yang oh-my-no enaknya dan ga mahal karena bikin sendiri *thanks-to-bakingwithkids-support-group (((support grouuuuup)))-kind-of

kembali punya waktu untuk membahas puzzle super rumit yang diributin di facebook atau di group whatsapp (komen destruktif ga penting doang, bukan bantuin mikir :p)

kembali bisa beraktifitas selama beberapa jam menitip Laut ke bapaknya :D

...

karena,
ibu yang sehat (fisik maupun jiwa) berarti anak yang bisa jadi lebih sehat lagi.
ibu yang bisa berpikir sederhana dan cukup bahagia karenanya, berarti anak yang juga akan mudah dibuat bahagia.
ibu yang punya banyak stock sabar karena tidak terkejar beban (pekerjaan atau pikiran), berarti anak yang boleh dan bisa belajar dari kerepotan yang dihasilkan dari self trial and error-nya.

a mother who finds a contentment in her daily activities means a better family living.

Inshaa Allah.
semoga bertahan lama ya, kesadaran ini

*note to myself


Wednesday, April 8, 2015

dikala itu melanda

baru saja membaca wikipedia Yoann Lemoine akibat sangat terpesona dengan lagu dan video klip Iron.

kok keren banget ya doi? makan apa ya kira-kira? saya..saya juga mau seproduktif dan sekeren itu.. *mata nanar, hampir nangis, kepengen..

semenjak saya membaca sebuah artikel Pramoedya Ananta Toer di salah satu majalah, dahulu kala, jauh sebelum saya menikah, saya sungguh terinspirasi.

artikelnya panjang, intinya sih, Pak Pram bilang kalau di masa kecilnya, dulu ibu-ibu desa itu, walau ibu-ibu yang bekerjanya di rumah mengurus urusan domestik, tapi berkarya juga, membuat sabun, untuk dipakai maupun di jual, menyisir daun pohon kelapa untuk berbagai keperluan, dari membungkus makanan sampai membuat sapu lidi, dan lain lain dan sebagainya.

saya sungguh ter-awe membacanya *kembali mata berbinar-binar

maka tertanamlah sebuah gagasan dan ide supernatural di kepala saya (apa sih, supernatural?),
"Jikalau..nanti..saya juga sudah punya anak, saya tidak akan berhenti berkarya. Saya akan berkarya untuk anak saya. Menggambar, membuat mainan, apapun..dan..terus..menelurkan karya. Saya mau anak-anak saya mengidolakan saya."

ide yang sungguh bombastis.

karena kawan, menjalankannya adalah..sungguh..aksi yang jauh lebih bertenaga ketimbang memimpikannya. hehe. benul.

jadilah saya masih merepotkan diri dengan ini dan itu, begini dan begitu.
sempat beberapa kali meltdown karena rasanya..rasanya..nano nano. sering saya merasa bersalah sama Laut (putri saya) karena banyak hal yang mungkin sebenernya biasa aja (merasa Laut kurang ngemil, kurang makan, kurang istirahat, kurang main), tapi ya..namanya juga kadang waras kadang engga. atau merasa super lelah, mempertanyakan ke diri sendiri sambil sedikit marah, "NANAONAN SIH MANEH BEUL?"

tapi ada beberapa simpulan yang bisa saya ambil dari pekerjaan saya yang sekarang:

1.
semua butuh kerja keras.
kalau saya berani punya mimpi, cita-cita, saya harus berani kerja keras.
berani.

2.
dibalik setiap kesuksesan gemerlap gemilang, ada sebuah cerita pahit yang belum tentu mau kamu jalani.

3.
(i tell this to myself) "Hey you spoiled brat! hidupmu jaaaauh lebih beruntung dari sebagian banyak orang yang bahkan tinggal tidak jauh dari lingkunganmu. you have no rights to complain anything, really."

yah, begitulah, 
jam 2 dini hari.
yang begini ini memang melandanya jam jam segini.
amin dan sekian.


Tuesday, June 3, 2014

hidup

it's just a short self-reminder.
some thoughts that pop up while i propose things in my prayer.
how long do you expect ur lifetime will be?
how long do you think ur partner's lifetime will be?
who will goes first?
...
in the end u'll parting ways
so while it last, will u try to be the best version of urself for ur lifetime-partner?
e v e r y  s i n g l e  d a y.
so in the end, there's no regret..

Totto-chan: Sebuah Ulasan

Segera setelah adegan terakhir Totto-chan membuka pintu kereta yang masih berjalan sambil menggendong adik perempuannya yang masih bayi, lal...