Tuesday, November 24, 2009

cita-cita

kata ulang yang, buat saya, punya arti dan makna yang sangat penting.
tanpa itu saya tidak bisa menentukan akan kemana kaki saya melangkah selanjutnya, setelah melalui berbagai fase.
kemudian ketidaktauan dan ketidaktentuan itu hanya akan berakumulasi menjadi energi negatif.
kalau sudah begitu saya akan merasa kehilangan daya hidup.
nanti lama-lama jadi mesin.
sayang ya, anak-anak kecil jaman sekarang kurang dipacu untuk bercita-cita dengan bebas walau liar.
lagu-lagu yang mereka senandungkan saja lagu-lagu band prodak media massa hari gini.
tidak ada lagi Ibu Sud atau Bu Kasur.
heum..
..
tidak ada lagi yang menyanykan betapa serunya membangun mainan sendiri,
atau se-sederhana awan putih yang seperti kapas,
atau sebuah titik di tengah laut yang menjelma menjadi kapal api.

"apa cita-citamu?"

Monday, November 9, 2009

cinta di Kartini Ngga Sampai Eropa

khehe, sedang membaca sebuah novel karya sammaria, saya menemukan petikan-petikan yang menarik.
lucu.
witty.

mereka sedang membahas cinta, gay, Tuhan, dan agama.
"Love...it's strong, but not everlasting."

"dan, mungkin cinta itu juga anugerah Tuhan, Anti... gak diusahakan sendiri. I can't believe there are two human beings can stand each other forever and ever. makanya, nikah itu ibadah. nothing is forever...even love. well...except diamond tentunya =)"

setuju, perasaan C tadi, ataupun sebuah chemistry, itu anugerah. it's a gift.
tapi, kalo mencomot petikan dari film "Dan in the Real Life",

"Love is not a feeling, Mr.Burns, it's an ability"

ya, dan ability itu juga bisa dilihat sebagai sebuah anugerah.

dan sebagai petikan penutup, kembali pada novel karya sammaria,

"if you feel depressed, just remember that everything shall pass anyhow. nothing is forever, babe. not even diamond. berlian (carbon) akan dengan mudahnya berubah menjadi gas CO2 kalo bereaksi dengan O2 cair di suhu -184 derajat celcius =)"

khaha,
saya adalah manusia sementara :]

Sunday, November 8, 2009

jakarta

dan malam itu, dari perbincangan tentang cinta, masih di sesi bersama wonder woman keturunan serambi mekah, obrolan merembet kepada pertanyaan,
"So, how's life? what next?"

dan cita-cita saya yang menjawab pertanyaan ini adalah,
"ga di Jakarta yang jelas, insyaallah."

disambut,
"Hah? kenapa dah?"

"karena.."
saya jadi ingat pengalaman satu hari sebelumnya, terjebak macet parah di sebuah jalan tikus, di salah satu wilayah hectic di Jakarta Selatan.
mobil-mobil berjubel.
penuh sekali.
dua kali atau bahkan tiga kali kalau bisa.
p e n u h.
saya dalam keadaan lelah dan bosan.
panik mengejar waktu sudah menguap, berganti pasrah.
dan di kanan kiri, pengemudi-pengemudi diperhatikan semua berwajah sama mimik.
datar.
dengan guratan kaku pada rahang.
"termesinisasi"
ter-mesin-isasi.
lamunan saya tersadar.
"karena.." saya berusaha kembali meneruskan jawaban

"iya si emang, gw akuin..disini, kalo lo ga lari ikut sama yang lain, lo akan ketendang-tendang. pilihan lo cuma dua, lo ikut lari sama yang lain, apa lo ditendang-tendang. apalagi untuk kelas pekerja macam kita kita gini"

saya kembali terdiam, tidak menyelesaikan kalimat saya.
dari rumah untuk sampai ke tempat kerja, rata-rata orang Jakarta yang kantornya di daerah perkantoran prestise itu butuh waktu 2 jam, jarak yang bisa ditempuh Bandung Jakarta.
saling berjubel adalah cemilan sehari-hari.
tidak semua pekerja bisa memilih kendaraan pribadi ber-AC untuk sampai kantor.
mungkin ini memang hanya penilaian dari satu sudut pandang dalam melihat fenomena kelas pekerja di Jakarta. Tapi sudut pandang ini yang paling mendekati realitas untuk saya bayangkan saat ini.
semua orang berlari, mengejar dan mengejar. tidak ada kata cukup.
entahlah, i'm just being cynical.

"saya cuma merasa jakarta bisa mengubah saya menjadi seseorang yang lain. sejauh yang saya lihat, Jakarta terlalu menggoda untuk membuat orang selalu merasa kurang."

"lo beruntung masih bisa milih, punya pilihan..walaupun sekarang lo milih kere ga punya duit, khahaha"

"khahahahahahaha! so much choice for ur life, eh?"

malam itu kami tertawa saja, menertawakan pilihan masing-masing dengan resiko yang akan kami tanggung sendiri-sendiri juga.
dia butuh saya untuk menertawakan betapa hectic hidupnya, saya butuh dia untuk membuat saya tetap bisa melihat realitas, tidak mengawang.
hey, tidak semuanya buruk, segala sesuatu memiliki dua sisi.

walaupun membuat pilihan bukan sesuatu yang mudah, tetapi masih bisa punya pilihan adalah sesuatu yang patut disyukuri.
tidak semua orang punya pilihan.
be thoughtful.


masih menyerempet keempat tulisan Seniman Dapur tentang hasil obrolan ngalor ngidul ngetan ngulon

setelah sesi sore itu, hari ini topik yang sama kembali menghantui saat saya bertemu Tengku Firli Anggina untuk saling bertukar cerita dan meng-up date kabar, saling menginjeksikan positivity.

cinta.

mencintai dicintai.

menghantui dan sama bundet nya dengan pelajaran Diterangkan-Menerangkan dan Menerangkan-Diterangkan (saya cinta pelajaran Bahasa Indonesia sejak SD, tapi ga pernah mudheng kalo udah sampe bab yang ini).

"Cinta, deritanya tiada akhir..." itu menurut Ti Pat Kay di serial Kera Sakti.

"Jatuh cinta itu biasa saja"
saya setuju. arti kata cinta saat ini terlalu dilebih-lebihkan (terimakasih kepada media. sinetron terutama. untung belantika musik Indonesia masih punya Efek Rumah Kaca) tapi ironisnya, malah mengalami pendangkalan makna.
"Jika jatuh cinta itu buta, berdua kita akan tersesat. Saling mencari di dalam gelap. kedua mata kita gelap, lalu hati kita gelap, hati kita gelap, lalu hati kita gelap."

hasil obrolan saya, Seniman Dapur, Seniman Setrum, dan Seniman Lingkungan di sesi sore tempo hari tentang cinta pun beraneka macam.

"Cinta itu ya proses itu sendiri..." menurut Seniman Setrum.
"Ga ada yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan. itu berarti bukan cinta. cinta itu kalau bertemu di tengah-tengah. cinta itu kalau saling. cinta itu jodoh."


"Cinta itu absurd, banyak sekali pengorbanan yang dilakukan atas namanya. Banyak sekali kematian, ironi, tragedi dan rasa sakit hati mengelilingi apa yang disebut cinta tadi. Peperangan pun dilakukan atas nama cinta." kata Eeyore.

entah kenapa pendapat terakhir dari Eeyore memacu saya untuk berpendapat.
menurut saya itu ego, bukan cinta.
ego itu rasanya seperti cinta, tapi bukan cinta.
menurut saya,
cinta itu kesederhanaan.
Cinta itu bentuk paling sederhana dari kasih sayang, justru.
Seperti 4/8 adalah 1/2.
Cinta itu saat segala sesuatu yang dirasakan dalam sepersekian detik menjadi tampak sederhana dan bisa membuat tersenyum.
Dan rasa sederhana itu biasanya cuma datang dalam waktu singkat dalam pikiran kita, manusia, dan pergi menghilang kembali, diganti ego.
Karena perasaan "sederhana" itu perasaan divine.
Manusia (justru) butuh effort besar untuk merasakan rasa "sederhana" tadi.

cinta yang sungguh itu justru cinta yang sederhana.

kesederhanaan itu salah satu bentuk cinta yang tulus.

tapi sesuatu yang sederhana bukan berarti mudah.
para seniman matematika kadang bisa njelimet saat ingin menyederhanakan sesuatu, bukan?

ahh, puisi "Aku Ingin" dari Sapardi Joko Damono tiba-tiba kembali termaknai dan menjadi lebih dalam.

Seniman Lingkungan juga punya quotes berkaitan dengan topik ini:
"Cara mencintai yang baik adalah mencintai dengan penuh kesadaran bahwa yang kita cintai itu akan hilang"


Friday, November 6, 2009

Perjalanan Siti mencari Situ

"Tet tet tet tet tet tet"

Alarm pagi membangunkan Siti, gadis desa (asal garut, mojokerto, atau magetan, tidak pernah jelas asal muasalnya) di bumi pertiwi kota jakarta.

Jakarta, saudara-saudara.

Kota metropolitan tempat para selebritis itu lho!

Pagi ini Siti bangun dengan panik karena harus menyelesaikan proposal. Kehadiran Siti di jakarta pun untuk mengantarkan itu proposal ke Situ (sebuah tempat berinisial jalan w-i-j-a-y-a 1 no 28).

Karena proposal belum diselesaikan, Siti panik dari pagi, hari ini deadline.

Maklum, Siti memang procrastinator handal Pembantu Ketua 1 geng “The Deadliners” (ada yang mau daftar, bay de wei?)

Siti panik dari pagi. Terhitung mulai jam delapan pagi.

Waktu berjalan dengan efektif.

Waktu mepet deadline memang dirasa waktu yang efektif dan membuat otak encer mengerjakan tugas tugas.

Dikejar pembunuh berantai bisa membuatmu berlari 10 kali lebih cepat dan efektif.

Percayalah..(apa yang dikatakan Rudy).

Waktu berjalan dengan efektif..sampai jam 12 siang.

Tinggal SEDIKIT lagi, Siti selesai, tapi saudara-saudara, tidak dibiarkan Siti merasa lega barang sedikit, karena mobil menuju Jakarta Selatan akan segera berangkat.

Bergegas Siti mandi. Tanpa berdandan dan dengan setelan rambut basah macam mba-mba nyuci baju di kali a la film Barry Prima, Advent Bangun, dan Yurike Prastica, Siti melompat masuk mobil. Dan kembali menyelesaikan sisa proposalnya di jalan.


First destination: Kampus Interstudi, Tendean.

Karena Tuan Besar 1 ada kuliah, maka perhentian pertama adalah kampus ini. Disini Siti turun mengharap ada secercah WiFi yang bisa Siti manfaatkan untuk mengirim proposal via eMail, kalau kalau Siti tidak menemukan Situ.

Jaga-jaga. (see, Siti pintar sebenarnya, walau dia procrastinator dan deadliners, tapi masih sedikit punya rasa tanggungjawab)

WiFi gagal digunakan. Komputer mini Siti tidak bisa tersambung.

“baiklah begitu, ke tukang print, dan di print aja, terus berjuang menemukan Situ”, Siti bertekad dalam hati dengan tulus dan semangatnya.

“ASTAGA, flashdisk masih di mobil, yaudah deh, ntar aja mindahin ke flashdisk nya di tempat nge-print” cetus Siti yang dengan cerobohnya meninggalkan perkakas di mobil.

“kira-kira ngeprint di SUBUR berapa ya?” Siti menilik dompet yang isinya hanya ada 3.000 rupiah.

“ASTAGA, berarti harus ke ATM dulu!”


Next destination: BCA

Bergegas lah Siti ke tempat parkir dan melesatkan Si Manis, mobil Tuan-nya ke ATM.

Parkir.

Seperti namanya, Bank Capek Antre, antreannya emang bikin capek mata. Dan pegel hati. Untung kaki Siti kuat. Maklum, gadis desa, betisnya aja segede Tales Bogor.

Bay de wei, disini ada 3 ATM penarikan dan hanya bisa dipake 1.

Long story long, uang sudah ditarik, 100ribu.

“yak, cukup lah yaaa..” batin Siti dengan polos.


Next destination: SUBUR

BCA dan SUBUR terletak sederet, dengan jarak lumayan lah. Dan sedihnya mereka dibangun di jalan one way. SUBUR udah kelewat. Jadilah Siti tidak punya opsi lain selain jalan kaki ke SUBUR, ga mungkin mundur naik mobil, lagian...

Lagian...

INDIKATOR BENSIN MOBIL TUAN SUDAH BERJARUM DI E!

Jalan it is.

Siti masih melenggang dengan ringan. Masih positippp otak nya yang suka nyangsang dimana mana itu.

Kali ini ia tidak lupa menenteng komputer mini dan flashdisk nya.

Sesampainya di SUBUR Siti mengambil nomer antrean dan tidak lama Siti dipanggil.

“Untung ngantre nya ga lama!” ceria sambut Siti.

Setelah memesan kertas, dan anu ini, Siti menanti print-print-an nya jadi.

Sambil menunggu Siti bertanya sama mas mas,”Mas, kira kira biaya nya berapa ya?”

Si mas: “kertas fancy nya 2, jadi 23.000 kali 2, blum ditambah print BW nya”

Siti dalam hati: “Mak, mati aku!”

Siti berujar dengan wajah menelan ludah tapi senyum: “Oh, oke d mas, uda jadi print print an nya?”

Si mas: “duduk aja mba, ditunggu, nanti dipanggil.”

...

..

Setengah jam berlalu...

Siti Dugem.

Ya, dugem.

Dugem!

Duduk gremet-gremet.

Siti: “Mas uda kelar, print-an saya?”

Si mas, sambil seperti tersadar dan berlari ke belakang: “Sebentar mba..”

Tidak lama Siti dipanggil ke kasir.

Mba kasir: “Total nya dengan jilid ring jadi 58.700, mba.”

Siti cuma senyum assem, sambil bayar.


Bergegas Siti berjalan kembali ke mobil untuk ke Situ.

Eh,

Apa isi bensin dulu?

Dilemma.. (seperti nama merk teh yang enak itu deh..hmmm..teh cammomile enak juga ni..*ctar!!* fokus fokus!)

Ok, singkat dilemma, akhirnya Siti memilih mengejar ke Situ dulu mengingat jam sudah menunjuk angka 3.

“Jalan aja, gausah pake AC! yang penting nyampe Situ dan proposal ini ga sia sia. Berjuaaaaaaang!” tekad Siti.


Next destination: Situ!

Jalan Wijaya I no.28

Siti tidak tau itu dimana sebenarnya, tapi ia bertekad mencari, berbekal bismillah.

Sekali cari, LANGSUNG dapet! Rumah nomer 28! “Cocok lah untuk menjadi sebuah sekretariat”, pikirnya. Setelah parkir dan turun Siti bertanya, “Mas, ini Seknas Habitat?”

Mas: “wah, bukan mba ini SALON”

Siti: “lho, kalo jalan wijaya I no.28 dmana mas?”

Mas: “oh..wijaya I si, lampumerah sana masih lurus lagi, situ Wijaya I mba..”

Siti: “oh, ok ok, makasih mas..”

NYASAR


Next destination: Situ part 2

Jalan wijaya I no.28

M A C E T ghila.

Berenti.

Bensin di jarum E.

AC mati.

Waktu menunjukkan jam 3.45 sore.

Siti memutuskan untuk parkir dan turun, mencari alamat dengan berjalan.

Beruntung Siti parkir di bangunan bernomor 30. Di tempat yang alamatnya runut begini, dan di lajur genap begini, perkiraan Siti rumah selanjutnya pastilah bernomor 28!

Ternyata keberuntungan-masa-kuliah-selalu-ga-ada-dosen-pas-bolos itu masih menyertai Siti.

BETUL, nomor 28!

Berbinar matanya..

Eh lho lho eh..tapi kok..RESTORAN?

Siti masuk.

Ternyata ini rumah makan “Bu Endang”

Alih alih mendapatkan Seknas Habitat, Siti bertemu Ibu Endang nya LANGSUNG!

Officially. Salah alamat.

“Eh, Nak, tapi kalo kamu jalan terus sampe sebelum lampu merah itu juga ada rumah nomor 28 lho..” cetus Ibu Endang yang rambutnya disasak a la nyonyah pejabat ini.

Secercah harapan kembali muncul.

Siti kembali berjalan kaki menuju lampu merah.


Next destination: Situ..euh..semoga.

Sesampainya di rumah sebelum lampu merah, Siti kaget.

Yang ia temukan adalah Rumah Tidak Terpakai, Rumah Kosong.

OH TUHAN!

Jalanan pun semakin macet.

Priority switched!

Cari pompa bensin

Cari WiFi


Kenyataan: JALANAN STUCK, BERHENTI, MACET TOTAL.


Tindakan: jalan kaki kembali ke mobil

ambil jalan memutar

Analisa: pom bensin terdekat, Senopati

WiFi terdekat, Bakoel Koffie Senopati


Ngeng!


Next destination: Pom Bensin Senopati

Macet dijalani.

Orang serobot serobot tidak dimaki.

Bis kota mengintimidasi dilalui.

AC mati masih diamini.


Yang penting sedikit lagi ketemu pom bensin!

Sabar sabarr!


Secercah harapan itu masih membuncah.

Setitik pengharapan itu masih berasa renyah.


3 meter

2 meter

1 met..

Lho lho lho, mata laler tolo tolo!

POM Bensin NYA DIBONGKAR?

Tidaaaaaaaaaaakkk!

4.34 pm


Get urself together Siti!

Cari pom bensin, cari pom bensin!


Analisa: pom bensin terdekat, Tendean

Tindakan: Cari jalan tikus!


M

A

C

E

T


Jarak kurang lebih 3 kilometer menuju pom bensin Tendean pun terlalui dengan waktu

S A T U J A M.

Tanpa A SE.

Siti yang sintal sudah mengurus sedikit sesampainya di pom bensin.

5.30 pm


Tepat saat itu superhero ibukota, Flying Yuppie Gummy Bear, menghubungi via satelitpon.

“Siti, kamu salah alamat, Jalan Wijaya I no.68”

“TAPI di infonya kan Jalan Wijaya I no.28”

“euh, mereka salah input..”

“...”


Mba mba bensin: “mau isi premium apa pertamax mba?”

Siti dengan tatapan nanar: “premium mba..”

Mba mba bensin: “berapa mba?”

Siti dengan tatapan nanar membuka dompet, cuma ada sisa 30rb: “20ribu mba”

Mba mba bensin: “baik, premium, 20rb, dimulai dari 0 ya..”


Flying Yuppie Gummy Bear: “Siti, Siti, halo?”

Siti dengan tatapan kosong: “ya?”

Flying Yuppie Gummy Bear: “dan deadline nya diperpanjang sampe 2 minggu ternyata..”

Siti: “...”

Flying Yuppie Gummy Bear: “halo, Siti? Bagus kan, diperpanjang..”

Sit...

Si..

S..


Siti terlalu lelah menghadapi dunia perkotaan.

Sungguh frase “Tua di Jalan” adalah benar adanya di ibukota metropolitan.


Siti bukan selebriti.


Siti terlalu lelah.

Situ enak, Siti?


Bagai putri duyung, Siti yang lelah hati berubah menjadi buih premium...


Mba mba bensin: “dimulai dari 0 ya..mba? Mba?”













Tuesday, November 3, 2009

a quote -teknologi

"teknologi yang menjadikan manusia menjadi Homo Sapiens"

*terimakasih kepada bahasan "teknologi membuat tradisi menjadi berjarak" dan "manusia dan alam" oleh seniman aseli.
*terimakasih kepada bahasan "perbedaan manusia dengan homo sapiens" oleh seniman setrum.
*(khehehehe, betul mba, terimakasih di ingetin!) terimakasih juga kepada pembahasan "teknologi menjauhkan manusia dari dirinya sendiri" oleh seniman dapur.

Monday, November 2, 2009

Bandung Lautan Api

sedang sangat tertarik dengan sejarah Bandung Lautan Api.

sudah berusaha ditulis singkat dan tetap runut. tapi ternyata masih saja panjang, khaha.


"saya terbakar!"


selamat membaca :]


1918

Dari mulai tahun 1918, pemerintah Hindia Belanda sudah berencana untuk memindahkan Ibu Kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung dengan berbagai kondisi yang dianggap lebih menguntungkan. Maka, sejak saat itulah berbagai infrastruktur kota dan komplek instansi pemerintahan dibangun di Bandung.


1930

Namun pembangunan komplek instansi pemerintahan ini terhenti pada tahun 1930 karena resesi ekonomi yang melanda Hindia Belanda.


1942

Pada 1942, Bandung yang sudah menjadi tempat pengungsian para petinggi Hindia Belanda dari Batavia di bom berkali-kali oleh tentara Jepang. Dan karena keadaan mendesak, akhirnya Belanda menyerah dalam perundingan di Kalijati, Subang, kepada Jepang.


1946

Empat tahun kemudian, Bandung kembali diperebutkan. Kali ini Inggris datang bersama dengan NICA. Meskipun kekuatan Jepang sudah melemah semenjak diproklamasikannya kemerdekaan, tetapi mereka masih tetap bertahan. Saat itu Jepang masih melarang penyebaran proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ke seluruh dunia. Dengan perjuangan, akhirnya kantor berita di Jakarta bisa direbut oleh para pejuang kemerdekaan, kemudian mereka menyiasati keadaan dengan mengirimkan kawat ke Kantor Berita Domei di Bandung. Dengan kawat tersebut, berita proklamasi pun tersebar, dan kejadian ini semakin menyulut semangat para pemuda untuk mengambil alih berbagai instalasi penting yang masih dikuasai Jepang dan merebut senjata.

Dalam masa ini pulalah masyarakat Cina di Bandung membentuk AMT, Angkatan Muda Tionghoa, dan bekerjasama dengan para pemuda Bandung lainnya.

Pada awalnya tentara Inggris terlihat ingin membantu para pemuda, sampai akhirnya para pemuda menemukan bahwa Inggris juga datang bersama para petinggi Belanda.

Para pemuda tidak terima.

Mereka tidak rela Belanda kembali menduduki kota mereka, maka perlawanan pun kembali dicicil oleh para pemuda. Mereka terus mengganggu tentara Inggris, sampai akhirnya tentara Inggris mengeluarkan ultimatumnya yang pertama, disusul dengan ultimatum kedua, mengancam para pemuda, untuk segera meninggalkan Kota Bandung.

Dan datanglah laporan pertama yang diterima oleh Nasution menanggapi keadaan Bandung saat itu,


“Sesampainya di pos komando (markas komando, pen), kepala staf melaporkan bahwa ada kawat dari Yogya tanpa alamat si pengirim. Isi kawat tersebut adalah ‘Pertahankan setiap jengkal itu. Setiap jengkal daerah Republik sampai titik darah penghabisan.’” (A. H. Nasution, wawancara 1 Mei 1997)

-Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan rakyat Bandung untuk kedaulatan, 2000


Tentunya, pesan singkat yang “membakar” ini membuat Tentara Republik Indonesia terbagi menjadi dua kelompok.

Menuruti perintah atasan untuk mengosongkan Bandung karena keadaan tidak memadai untuk para pemuda disana tetap berjuang, atau tetap berjuang mempertahankan Kota Bandung.

Dan terjadilah ketegangan internal mengingat opsi kedua berarti melanggar aturan seorang tentara. Bagaimanapun seorang tentara harus menuruti perintah atasan. Beberapa anggota pasukan yang emosional pun meluapkan rasa gregetnya.


“Asal mulanya, cabut kita (sambil memperagakan pencabutan tanda pangkat di bahu, pen). Bertempurlah sebagai pemuda!” (Daeng Kosasih, wawancara 27 September 1997)

-Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan rakyat Bandung untuk kedaulatan, 2000


Setelah perdebatan sengit akhirnya dari berbagai opsi dipilihlah satu:


Bandung akan dibumihanguskan.


Bumi hangus Bandung direncanakan dimulai jam 24:00. Sejak jam 15:00, arus pengungsi mulai tampak.

Rencana peledakan pertama adalah jam 24:00 di gedung Indische Restaurant di sudut selatan alun-alun Bandung (gedung BRI). Namun peledakkan itu tidak berjalan sesuai rencana. Jam 20:00 akhirnya suara ledakan terdengar, diikuti gerakan-gerakan pembakaran massal. Ledakan susulan pun sahut menyahut. Sepanjang Pangeran Sumedangweg (Jalan Oto Iskandardinata) dan Jalan Raya Barat (Jalan Jenderal Sudirman) berhasil dibumihanguskan.


26 Maret 1946

Seorang wartawan muda harian “Suara Merdeka”, Atje Bastaman menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dan Bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Dayeuh Kolot. Pemandangan yang juga dilihat oleh Nasution bersama Rukana, kepala polisi tentara, dari arah Ciparay.


“Jadi dengan ledakan itu, saya dengan Rukana naik ke atas, di tempat listrik. Melihat betul-betul dari Cimahi sampai Ujungberung sudah api semua itu.” (A. H. Nasution, wawancara 1 Mei 1997)

-Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan rakyat Bandung untuk kedaulatan, 2000



Sumber: Bandung Society for Heritage Conservation



mati, hilang, dan kehilangan

Hari ini salah satu kawan saya berpulang, setelah sekian bulan, tidak hanya ia tapi juga istri dan anak satu-satunya berjuang melawan sakitn...