Tuesday, March 14, 2023

Melindungi dan Melayani. Siapa?

Tolong, ada yang bisa membantu saya memahami logika cara kerja negara ini melindungi warga negaranya?

Saya punya pertanyaan terkait kasus-kasus penangkapan warga negara nih. Kita ambil contoh kasus obat-obatan terlarang aja ya. Baru-baru ini dikasih soal cerita yang berkaitan dengan penyalahgunaan obat-obatan terlarang. 

Saya paparkan alur logika yang saya pahami dan asumsikan dulu ya. Dalam UUD 1945 Pasal 30 ayat (4), di jelaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. 

Sekarang kita menggunakan sudut pandang perihal obat-obatan terlarang ya. Kalau objektifnya adalah (pertama) melindungi, lalu mengayomi, serta melayani masyarakat, saya berasumsi, bahwa tindakan yang seharusnya digalakkan adalah mencegah. Saya punya asumsi demikian karena tugas yang diberikan negara pada role-circle polisi ini adalah terlebih dulu melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Menegakkan hukum dicantumkan paling akhir, dan kata-katanya menegakkan hukum, saya berasumsi ada implikasi peran analisis disana. Hukum apa yang tidak tegak, mengapa, dan bagaimana duduk perkaranya. Semua warga Indonesia yang pernah menyimak pelajaran pendidikan pancasila dan kewarganegaraan pasti tahu kalau menggunakan dan atau mengedarkan obat-obatan terlarang melanggar hukum. Kalau logika dan nalarnya jalan, ya kan? 

Logika:
Kalau tidak ada yang mengedarkan sedari awal, maka tidak akan ada yang menggunakan. Hukum Ekonomi bilang, jika tidak ada demand tidak akan ada supply. Akur? Ok. Jadi logika saya supply demand ini yang perlu dikaji dan diatur. Kalau bisa STOP TUNTAS supply, UNTUK MENCEGAH ada demand. Karena fokus utamanya melindungi warga negara. Kalau sampai terpantau ada demand, usut supply-nya, cabut akarnya.

Pertanyaan:

  1. Kalau polisi menjalankan tugas yang diberikan negara, fokusnya pada melindungi warga negaranya, bukankan seharusnya ia melindungi warganya dari pengedar?
  2. Kalau polisi menjalankan tugas yang diberikan negara, punya mental-model (mindset) mengayomi masyarakat, saat mendapati ada seorang pengguna, bukankah sebaiknya pendekatan yang dipakai berfokus pada rehabilitasi pengguna, mencari metode yang paling mutakhir dan efektif, melakukan studi-studi user-centered bekerjasama dengan universitas kedokteran atau lembaga terkait lainnya, alih-alih mengancam hukuman penjara? *Lain soal kalau pengguna ini ikut mengedarkan ya.
  3. Fokus pada objektif pertama, melindungi, bukankah lebih baik menemukan akar borok penjual dan pengedar dan menjatuhkan hukuman sesuai ketentuan kepada para pengedar dan penjual, alih-alih menghukum pengguna?
  4. Kalau polisi menjalankan tugas yang diberikan negara, melayani masyarakat, apakah kerabat pengguna tidak termasuk masyarakat yang juga harus dilayani? Jika kerabatnya ditangkap karena menggunakan obat-obatan terlarang, bukankah harusnya dilayani bagaimana kerabat yang mungkin merasa dibohongi ini bisa menemukan solusi terbaik untuk mencegah anak atau kerabatnya menggunakan lagi, alih-alih meminta kerabat membayar?
  5. Kalau polisi menjalankan tugas yang diberikan negara, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, apakah cocok dengan modus operandi memantau pengguna, memancing pengguna, dan menangkap pengguna untuk dihukum? Bagaimana dengan pengedarnya?
  6. Kalau polisi bisa memantau pembeli, membeli obat-obatan terlarang, menarget si pengguna untuk diamankan setelah sekian lama, tidakkah terpantau juga si pengedar? Apakah si pengedar juga diamankan?
  7. Kalau aturan yang sudah sekian lama dibuat ternyata tidak efektif, dan kejadian berulang terjadi lagi, apakah tidak sebaiknya ada pengkajian dan analisis ulang? Mungkinkah ada structure yang enable proses pemberantasan terkendala?
Pertanyaan terakhir:
Apakah mental-model penegak hukum di negara ini, yang utama adalah menghukum masyarakat sebelum melindungi, mengayomi, dan melayani?

Ah, mungkin terlalu berat membahas obat-obatan terlarang. Kalau kita bergeser kacamata, melihat dari sudut pandang penertiban lalu lintas, misalnya. Kembali lagi, kalau tugasnya adalah melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, saya rasa bijaknya fokus tindakan yang digalakkan adalah menyediakan rambu dan marka yang sangat jelas bagi pengguna jalan. Yang seragam dan minim ambiguitas. 

Apakah kalau di perempatan, belkibolang hanya berlaku jika ada rambu, kenapa kalau dilarang belkibolang juga tidak diberikan rambunya? Kenapa masih ada saja yang melanggar batas maksimal kecepatan di jalan raya (apakah rambu dibuat sebagai dekorasi jalanan saja)? Adakah kajian di dalam kepolisian mengenai mental-model masyarakat dalam memahami aturan lalu lintas? Mengapa mental-model demikian tercipta? 

Melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Mayoritas masyarakat yang waras dan tegak logikanya, jika merasa dilindungi, diayomi, dan dilayani, saya jamin akan ikhlas mematuhi aturan hukum. Maka tugas Anda untuk menegakkan hukum akan lebih efektif efisien berfokus pada oknum yang melakukan pelanggaran. Dan saya percaya, mayoritas masyarakat Indonesia, kaya maupun miskin, adalah warga negara yang baik, warga negara yang humanis. Warga negara yang waras dan tegak logikanya. Tapi jika kami terus diberikan harapan yang semu, jika kami merasa negara tidak berpihak pada kami, merasa bahwa tugas kami sebagai warga negara adalah melindungi, mengayomi, dan melayani penguasa, bagaimana kami bisa memelihara kewarasan dan tegak logika kami?

mati, hilang, dan kehilangan

Hari ini salah satu kawan saya berpulang, setelah sekian bulan, tidak hanya ia tapi juga istri dan anak satu-satunya berjuang melawan sakitn...