Friday, August 16, 2019

Saat Rudi Berkata



Satu kali dulu saya pernah terpilih ikut turnamen taekwondo mewakili sekolah, pengalaman berharga seumur hidup. Saya bukan atlet, hanya siswa yang ikut ekskul, tapi karena pelatih saya melatih atlet, jadi latihan ekstra kala itu digabung dengan latihan atlet. 

Atlet yg juara itu benar-benar hebat dan kuat mental sih, percayalah (apa yg dikatakan Rudi). 

Waktu itu menu rutin kami diantaranya lari keliling lapangan sekian puluh kali, sit up sampai 300 kali (saya dikasih voor boleh 100 saja, 150 juga sudah bagus), latihan menendang target entah berapa ratus kali masing-masing kaki, diiringi teriakan-teriakan, "Lageee, lageee! Speed lagee! tambah lagi speednya! Lagee! Lagee!". Hari pertama saya ga kuat sampai rasanya susah napas, sampai mual mau muntah, literally mau muntah. Saat saya whining, 

“Sabam..saya..hh..hh..mau muntah”, 

Beliau mendatangi saya, membawa saya duduk di tepi, duduk di samping saya dan berkata, 

“Kalo kamu mau muntah, dimuntahin aja. Setelah itu kamu balik lagi latihan.” 

Rasanya waktu itu mau nangis, tega banget dah sabam. Tapi terus melihat saya agak shock beliau balik lagi, memberi wejangan, 

“Kita semua punya batas di pikiran kita. Kita pikir batas kemampuan kita hanya segini,” 

Ucap beliau seraya mengangkat telungkup telapak tangannya menyamping sejajar mata saya.

"Tapi itu pikiran kita. Kita yang buat batas itu. Sekarang kamu pikir. Dorong batas itu. Buat di pikiran kamu kalo batas kamu segini,"

Beliau naikkan telungkup telapak tangannya sejajar kening saya.

"Sampai nanti kamu merasa ga kuat, pikir lagi, dorong lagi dia, naikkan sampai segini,"

Naik lagi telapak tangan beliau sampai lewat ujung kepala saya.

"Semua ada disini,"

Sekarang berpindah telapak tangannya, menunjuk pelipis kepalanya sendiri.

"Yang membedakan atlet juara dan tidak itu pikirannya. Untuk bisa juara, kamu perkuat fisik kamu dengan latihan. Tapi saat tanding, yang membuat kamu juara adalah pikiran kamu. Saat kamu percaya kamu tidak kuat, akan kalah, kamu akan kalah. Tapi kalau kamu dorong batas kamu, rasa lelah kamu, sesaat lagi, sesaat lagi, terus dorong batas itu, sampai kamu menang, kamu akan menang. Kamu akan menang, karena kamu dorong pikiran kamu sampai kamu menang. semua ada disini, dan yang membuat atlet juara adalah pikirannya."

Saya termenung, saya bisa merasakan mata saya melebar, lelah saya memudar, semangat saya terbakar. Tak lama saya kembali lagi ke matras latihan.

Fast forward delapan belas tahun kemudian.
Saya menemukan diri saya tergenang dalam air mata tekanan seiring dengan task list dan to do list pekerjaan, juga tekanan batas tenggat waktu. Belum lagi kontribusi tuntutan kewajiban tugas meng-ibu.
Saya menemukan diri saya whining dan menangis lagi, seringkali. Sekarang coach saya bukan Sabam Karji, marinir KKO yang melatih taekwondo atlet-atlet, tapi Saska, suami saya.

Sekarang, di titik ini, saya kembali menjadi Mita si anak SMP yang sedang latih tanding untuk turnamen taekwondo mewakili sekolah. Pelan-pelan saya dorong batas yang saya ciptakan sendiri di pikiran saya. Pelan-pelan, saya berusaha eling di tengah-tengah kegilaan. Tips tambahan dari Saska untuk saya,

"Kerjain satu-satu yang ada di depan kamu. Tentukan prioritas."
"You don't need to prove anything to anyone; luruskan niat kamu bekerja. Kalau kamu gagal setelah kamu udah usaha maksimal, tinggal minta maaf, pasti ada resikonya, tapi bisa dihadapin."

Saya sadar, bahwa real work ya begini. Tidak peduli apa kerjanya, yang namanya pekerjaan ya begini. Memutuskan untuk kembali bekerja berarti harus siap meghadapi tekanan. 

Real works means real pressure. No shit. HAHA. 

Apapun pekerjaannya, saya pikir, tekanan sudah hampir pasti akan datang bersama dengannya. Kalau saya punya target kualitas apalagi. Bahkan pekerjaan mendidik dan merawat anak sekalipun. Saya ingat salah satu tulisan Pramoedya Ananta Toer yang saya baca dan menginspirasai saya jaman kuliah, lupa persisnya, tapi kira-kira seperti ini,

"Seumur hidup, orang itu berkarya. Bekerja apapun itu, itulah karyanya. Ibu-ibu jaman dulu di kampung itu ya berkarya seumur hidup. Membuat sabun, membuat sapu lidi dari daun kelapa, bekerja kolektif memasak saat tetangga ada hajatan. Selama manusia berkarya dia akan hidup."

Apa yang kita kerjakan, itu hasil karya kita. Dan serunya, seumur hidup kita, kita berkarya, tinggal bagaimana karya kita. Apa mau membuat karya dengan penuh penghayatan, atau sekenanya saja. Hasil akhir itu hanya konsekuensi, yang berharga itu prosesnya.

Rewind delapan belas tahun kebelakang, saya kalah pertandingan di ronde kedua, dengan skor yang sangat tipis. Di pinggir lapangan Sabam saya menghibur, 

"Gapapa kamu kalah, kamu sudah berusaha. Ini hasil dari usaha kamu. Toh ini kan pengalaman pertama kamu, jadi sekarang kamu tau. Lain kali kamu harus kuat, jangan biarkan pikiranmu mengalahkan semangat juangmu."

Sejak saat itu, tidak ada "lain kali" yang lokasinya adalah matras pertandingan taekwondo di Gedung Olahraga Simprug. Beberapa tahun setelahnya saya pikir saya tidak akan dapat kesempatan lagi mengejawantahkan pesan-pesan Sabam Karji. 

Tapi ternyata saya salah. Kini saya berjumpa lagi, tapi arena pertandingan saya ganti lokasi dan cabang olahraga.


Bandung, 16 Agustus 2019.
Rudi.
*biar kata-kata saya terpercaya

1 comment:

mati, hilang, dan kehilangan

Hari ini salah satu kawan saya berpulang, setelah sekian bulan, tidak hanya ia tapi juga istri dan anak satu-satunya berjuang melawan sakitn...