Tuesday, March 24, 2020

Cerita Jelgava, Latvia



“Mau ke Latvia ya Mba? Di mana tuh Mba, Latvia?”, Sapa petugas penerbangan yang menyambut saya di loket check-in.
“Di area baltic Mba, di Eropa Utara sebagian masuk timur, hehe..”
“Ooo..jarang loh, orang kita yang kesana. Emang ada apa Mba di sana?”
“Ada meeting Mba..hehehhe”
“Oooo..pantess..kalo ga ada meeting sih ga akan ke sana ya Mba? hihihihi”
“hehehehe..” (ketawa awkward)

Ga banyak orang tau di mana Negara Latvia. Thanks to SAMS Project, saya berkesempatan mengunjungi negara ini. Pengalaman saya mengunjungi Latvia, seperti pengalaman lain yang akan didapatkan saat seseorang pergi jauh merantau, somehow even more humbling us down. Saya rasa pengalaman untuk bisa berkunjung ke negara lain, menjelajah, belajar tentang bagaimana masyarakat lain di belahan bumi lain hidup, sama berharganya dengan pengalaman bekerja dalam project SAMS-nya sendiri.

Perjalanan kali ini membuat saya sadar bahwa manusia..hanyalah manusia, dengan segala karakteristiknya, di negara manapun mereka hidup. Salah satu dari sekian banyak faktor yang kemudian membedakan perilaku manusia satu dengan manusia lainnya secara general, bisa jadi faktor tempat hidup mereka. 

Pengalaman dari perjalanan ini yang mengingatkan saya untuk tidak senantiasa membusungkan dada adalah, pengalaman menyaksikan peralihan musim memasuki musim semi. 

Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya merasakan dingginnya suhu -1 derajat celcius, walau belum juga berjodoh melihat salju turun. Rekan-rekan disana bilang, bukan derajat suhu yang membuat dingin bisa menusuk sampai tulang. Minus sekian derajat hanya akan membuat rasa dingin, tanpa rasa menusuk, jika tidak disertai angin dan kelembaban. Angin dan kadar kelembaban udaralah yang berperan dalam keputusan apakah dingin ini akan menusuk atau tidak. Saya mungkin belum berjodoh dengan salju turun, tapi saya dijodohkan dengan sesuatu yang tidak kalah cantik dan berharga, melihat tumbuhnya benih-benih musim semi.






Di udara yang dingin, dengan tamparan angin perairan baltic di pantai Ventspills dan semenanjung Kolka yang membuat wajah saya mati rasa (sungguh tidak enak rasanya), saya menyaksikan tunas-tunas merangkak menunjukkan denyut hidupnya pada batang-batang kurus tanaman yang meranggas semusim sebelumnya untuk bisa bertahan hidup. Saya juga menyaksikan orang yang merawat tanaman mawarnya, dengan melindungi tunas-tunas bunga mawar yang hendak mekar dengan cabang-cabang pohon birch. Saya bertanya-tanya, mengapa mereka harus melindungi tunas-tunas ini dengan dahan-dahan pohon birch? Ternyata langkah ini diambil untuk melindungi tunas-tunas baru bunga mawar dari dinginnya udara, supaya saat di titik suhu beku, alih-alih tunas-tunas baru yang membeku, serabut dedaunan dari dahan-dahan tadi yang membeku terlebih dulu, memberi kelembaban tertentu dan menjaga mereka tidak membeku. 


Memperhitungkan luas kebun mawar sebuah penginapan, saya berpikir betapa telatennya orang yang merawat kebun ini. Bayangkan dia harus memotong-motong dan mencari dahan-dahan pohon birch dengan ukuran yang kurang lebih seragam, lalu dengan hati-hati menutupi semua tunas-tunas mawar sampai terpayungi. Saya jadi teringat kisah Pangeran Kecil dan bunga mawarnya yang di certakan Antoine de Saint Exupery.

Pekerjaan yang rasanya bukan untuk saya. Saya mungkin tidak punya keteguhan hati yang cukup untuk bisa sampai telaten tingkat ini. haha.



Satu lagi pemandangan yang membuat saya takjub sebagai perempuan tropis tulen. Ketertiban dan keseragaman pohon-pohon meranggaskan dedaunannya. Kombinasi pemandangan itu, udara dingin yang menusuk sendi dan satu dua burung gagak yang beterbangan di atas membawa saya pada memori film-film Tim Burton yang pernah saya lahap. Saya bertanya pada seorang rekan, seorang Jerman, apa rasanya selalu melihat pemandangan ini dari tahun ke tahun? Karena yang saya sadari, saat itu saya merasa “sepi” tapi di saat yang sama saya merasakan sebersit ketenangan, entah apakah karena melihat semuanya seragam atau apa. Jawabnya, pemandangan ini membuatnya merasa “aman”, selalu bisa mengetahui sedang di tahap apa dalam tahun ini ia berada, segera setelah melongokkan pandangannya keluar, memberikannya kemananan, bahwa semuanya masih “in the right order”. Rasanya saya sedikit lebih paham kenapa mayoritas dari mereka mudah patuh dan lebih disiplin, mungkin ini salah satu faktor pembentuknya. Dia juga mengaku salah satu hal yang menurutnya stressful saat dia berada di Indonesia atau negara tropis lainnya adalah karena semua terjadi dengan pacunya sendiri-sendiri. Seperti "berantakan" dan "tidak beraturan". ha ha. You tell me.




Dari mendarat di kota Riga, melalui perjalanan darat kurang lebih 30 menit ke kota Jelgava ditemani kawanan hutan pohon birch di kanan kiri, dua hari beraktivitas di University of Life Science and Technology Jelgava yang bermukim di Istana Jelagava (Jelgava Pills), dilanjutkan dengan perjalanan susur pantai; Ventspills, dan Kolka melewati kota tua Kuldiga. Bermalam di kastil/istana Jounmoku Pills, lalu kembali ke kota Riga untuk terbang pulang ke Indonesia, yang menyambut saya dengan kewaspadaan penyebaran virus corona. Perjalanan saya kali ini disudahi dulu. 

Selain membawa oleh-oleh coklat, roti, manisan, madu, mainan, batu-batu dan kerang pantai, saya juga membawa secuil rasa tenang, mengetahui bahwa manusia..hanyalah manusia tidak peduli dia ada dimana. Semua dedikasi, kerja keras, dan keteguhan hati pada niatmu memberikan dampak-lah yang pada akhirnya akan mendefinisikan siapa dirimu.

---

A glimpse of Jelgava,




banyak bangunan dengan gaya peninggalan arsitektur uni soviet.



"interested in getting lost?"


Latar belakang, tempat rapat, University of Life Science and Technology Jelgava. Fakultasnya bertempat di bangunan bekas istana. Enak banget ya kuliah di sini berasa princess gitu tiap kuliah pasti. Si Laut sama Koral pasti seneng banget kalo kesini 😌✨πŸ‘ΈπŸ»
Kalo latar depan fokus fotonya itu bekal selama di sana, bahan pertukaran budaya lewat palet rasa: Cumi Kecombrang Resep Ninin. Asli ngeunah, silakan langsung cek IG Resep Ninin ya sis kalo mau coba, hati-hati ketagihan. Terimakasih kepada tangan Neng Diece yang sudah melahirkan kuliner ini πŸ˜‹

Selepas pertemuan di Jelgava, kami menyempatkan diri mengambil jalan memutar susur pantai dan menginap 2 malam sebelum sampai kembali di Riga untuk terbang pulang.

Pertama kami berhenti di kota tua Kuldiga.





ASLI, SEPI banget brayy!

Dari Kuldiga, kami melaju dan bermalam di Ventspills. Besok paginya kami melancong, dimulai dari pantainya, berujung di pasar becek lokal, hahahahaha.





*ku takut di takol




Entah ada apa dengan Ventspills dan Sapi. Tapi asli banyak banget patung sapi dengan berbagai varian, mutasi, dan pose. Ini salah 3 nya, ga jodoh nangkep semua sapi πŸ˜…


Bukan sapi.

Dari Ventspills kami menuju Jounmoku Pills, sebuah Kastil lama yang sekarang sudah alih fungsi menjadi penginapan. Iya, saya bermalam di istana...Laut sama Koral pasti iri bukan main 🀣✨πŸ‘ΈπŸ»♥️




ini pemandangan paginya. Sing suwer asli tiris.


Ingin rasanya ku berteriak, "into the unKNOOOOWN!" *nyanyi tapi ngegas *langsung dihajar kawanan massa *polusi suara *nonton frozen II dulu



kaca mobilnya ada es serutnya~


hasil pungutan susur pantai, bukan pungutan suara.


Dengan membawa hasil pungutan susur pantai dan roti sourdough pasar lokal, 
Indonesia, saya kembali :)

No comments:

Post a Comment

mati, hilang, dan kehilangan

Hari ini salah satu kawan saya berpulang, setelah sekian bulan, tidak hanya ia tapi juga istri dan anak satu-satunya berjuang melawan sakitn...