saya tidak pernah benar-benar tau bagaimana horor dan teror itu mendera dan membilur pada orang-orang yang secara nyata terimbas dan ada pada saat peristiwa itu terjadi...
2010, adalah awal kali pertama saya berkenalan dengan kisah-kisah sejarah 65 di Indonesia secara lebih mendalam dan terperinci, versi yang sesungguhnya, tentu saja, bukan versi film G30SPKI atau versi diorama di museum Lubang Buaya.
2010 Agustus-Juli, untuk pertama kalinya saya diminta meriset tentang apa yang terjadi pada tahun 65 lewat pengalaman pakde-bude, orangtua, dimanapun mereka berada saat itu, diminta membaca sebanyak mungkin artikel yang bisa saya lahap dan pahami dalam jangka waktu satu minggu, tugas dari Papermoon Pupet Theatre dalam rangka menjiwai peran yang kelak akan saya emban di atas panggung pertunjukan boneka terssebut. lepas satu minggu, kami berkumpul kembali untuk menceritakan temuan kami masing-masing, Mba Ria dan Mas Iwan pun membekali kami dengan kisah-kisah nyata tambahan hasil temuan mereka, bacaan, artikel, dan dengan lihai Mba Ria sang sutradara menginjeksikan rasa yang bisa ia rambatkan pada hati kami lewat ceritanya, dengan pembacaan naskah lengkap dengan interpretasi emosinya.
tiga bulan lamanya kami tidak bersentuhan sama sekali dengan naskah yang utuh, kami diminta untuk memahami terlebih dahulu tubuh kami. Penantian serta usaha kami selama tiga bulan tersebut terbayar dengan penjiwaan yang terbangun dengan utuh, sedikit demi sedikit, latihan demi latihan.
2010 Desember, untuk pertama kalinya kami mementaskan Mwathirika, dari mulai pentas latihan (gladi bersih) sampai pentas sungguhan. Selama satu minggu kami pentas, saya masih bisa merasakan sayatan di hati saya saat membawakan karakter Tupu, spoiler alert, yang harus kehilangan begitu banyak, dan menanggung perih yang begitu teramat. Terlebih diatas panggung, saat semua sunyi, begitu khusyuk, hanya ada saya, lampu, dan emosi Tupu yang saya pindahkan pada jiwa dalam bodan spons-nya.
2012, dua tahun kemudian, gaung Mwathirika masih saja berdengung; Jakarta, Bandung, Amerika, Singapura. Saya semakin familiar dengan kisah-kisah terkait peristiwa 65 di Indonesia, "Secangkir Kopi dari Playa" juga oleh Papermoon, "Manjali Cakrabirawa" oleh Ayu Utami, artikel-artikel Pramoedya Ananta Toer, "Ronggeng Dukuh Paruk" oleh Ahmad Tohari lengkap dengan interpretasi film-nya bertahun kemudian, "Soe Hok-Gie" besutan Riri Riza, cerita-cerita seram dari Pulau Bali, dan masih banyak cerita dan kesaksian ngeri lainnya. Setiap rinci, setiap cerita, setiap artikel menambah pengalaman saya untuk memperkaya bilik emosi yang saya persembahkan untuk Tupu di atas panggung.
Saya pikir saya cukup paham, namun ternyata saya tidak pernah benar-benar tau bagaimana horor dan teror itu mendera dan membilur pada orang-orang yang secara nyata terimbas, ada pada saat peristiwa itu terjadi...
2013, saya membeli novel "Pulang" buah karya Leila S. Chudori. Saya tidak pernah tau tentang apa novel itu bercerita sampai saya menemuinya di etalase Gramedia beberapa hari yang lalu. Ringkasan cerita yang ada di sampul belakangnya menarik minat saya untuk terus memegangnya sampai meja kasir; lagipula ia tidak akan terpajang di etalase depan tanpa sebuah alasan yang cemerlang.
sejak pertama saya membuka lembarang demi lembaran bab saya tidak bisa berhenti. Cara bertutur penulis sungguh membuat saya tidak kuasa meletakkan buku tanpa rasa penasaran dan keinginan untuk membukanya kembali. Cerita yang ia tuliskan begitu lengkap, begitu nyata membawa imajinasi saya memanggil kembali puluhan cerita yang sudah saya baca, saya dengar; memasang-masangkan mereka pada setiap kejadian dalam cerita novel, mau tidak mau membentuk kesatuan yang lebih utuh, lebih lengkap, lebih komprehensif. Selama beberapa hari jemari saya tidak bisa lepas dari novel Pulang dan tanpa banyak pilihan dalam beberapa terakhir pula. pikiran saya sedikit tertekan, terpengaruh theatre of mind yang saya bangun secara simultan, ber-hari-hari.
2013 Maret, sudah sejak lama saya ingin menonton film arahan Ben Affleck yang menang piala Oscar itu. sudah berkali-keli berencana, gagal, mengajak banyak orang, gagal lagi, pokoknya setiap direncanakan tiap kali itu pula gagal, padahal saya tidak tau tentang apa film Argo itu. Sampai hari ini, selesai bekerja, kami (saya, saska, dan beberapa teman) memutuskan untuk meluncur ke bioskop, beli karcis Argo. Sampai di dalam studio saya masih berbisik ke kanan kiri,"Ini film tentang apa sih?", tak ada jawaban karena lampu sudah meredup, dan narasi film dibacakan.
Argo tentang apa, bagaimana pula plotnya, terpampang polos di berbagai macam situs. Namun rasa tertekan, takut, dan teror yang saya rasakan selama menonton film ini, membuat rasa tertekan saya selama beberapa hari belakangan imbas berhari-hari menonton Theatre of mind dari novel Pulang, menjadi lengkap. Lengkap.
Hujan deras yang mengguyur Bandung dalam perjalanan pulang melengkapi pikiran saya yang beberapa bulan, beberapa tahun ke belakang, memanggil semua cerita yang pernah saya cerap.
Saya adalah anak yang beruntung, keluarga saya tidak punya sejarah terkait dengan peristiwa 65 sama sekali, bersih. Darah saya tidak menjelma sedikitpun ke wajah Tionghoa, walau mungkin jauh di atas pohon keluarga, mungkin ada bersit juga darah Tionghoa; peristiwa kerusuhan Mei 1998, aman. Jika kemudian saya berusaha merasakan teror manusia-menusia yang terimbas peristiwa 65, itu hanyalah rasa yang saya bangun sendiri, dengan gabungan pengalaman orang lain, dan rasa hiperbolis untuk menghidupkan panggung. Namun malam ini rasanya sungguh lain, saya betul-betul merasa tertekan dan takut, sepanjang berada dalam studio film tadi. Berharap, tragedi kemanusiaan macam ini berhentilah, sudahlah, jangan terulang di belahan dunia manapun, manapun!
Saya pikir saya tau, namun saya tidak pernah benar-benar tau bagaimana horor dan teror itu mendera dan membilur pada orang-orang yang secara nyata terimbas, ada pada saat peristiwa itu terjadi...
***
Argo; sebuah film arahan Ben Affleck
Pulang; sebuah novel karya Leila S. Chudori
Mwathirika; sebuah pertunjukan teater boneka karya Papermoon Puppet Theatre