Suara gaduh riuh rendah menghiasi rumah Kartika sore itu. Waktunya mandi sore untuk bocah-bocah kecil berusia 3 dan 6 tahun di rumahnya. Dalam rumah mungil itu hanya ada dia dan dua perempuan kecil lainnya, anaknya. Yang satu sudah selesai mandi, sedang berbicara sendiri dengan mainannya, berkelana dengan imajinasinya yang kaya. Yang satunya sedang ia mandikan juga berceloteh riuh dengan panci, sendok, dan selada mainan dalam bak mandinya. Mustahil Kartika merasa sepi dengan kegaduhan macam itu, namun nyatanya hati merasa lain.
Dengan seksama ia bersihkan lipatan demi lipatan tubuh anaknya, sesekali ia menjawab celotehan anaknya yang ceriwis, dengan keriaan yang tak kalah, kelihatannya. Ia keringkan tubuh kecil yang masih saja berbincang itu, sesekali ia menerima kecupan mini dan pelukan kecil mengalung di lehernya dari perempuan ini. Mustahil Kartika merasa sepi dengan hujanan kecup dan peluk sehangat itu, namun nyatanya hati merasa lain.
Perempuan. Kartika seorang perempuan, pun kedua anaknya, perempuan-perempuan kecil. Ia selalu percaya bahwa perempuan adalah makhluk yang hebat karena kapasitasnya untuk merasa dan mengolahnya, jika saja mereka mengilhami setiap potensi yang ada pada diri mereka, dan cukup kritis untuk tidak terlena pada stereotipe yang dijatuhkan pada mereka, cukup kuat untuk melawan hasrat naluriah dan ego yang membawa mereka pada pemujaan diri sendiri. Jika saja setiap perempuan mengasah dan terus melatih kepekaan dan kemawas-diriannya, dan peduli serta berempati pada perempuan lainnya. Sederhananya, menghormati perempuan lain.
A Women's Body is a Temple, they said. Pikiran kritis dan luapan emosi di dada Kartika membuatnya skeptis. Perempuan yang mana?