maroon 5 once said, "nothing last forever, but be honest babe.."
semua dirancang untuk sementara, sementara..
tidak ada yang bertahan untuk selamanya di semesta ini.
seperti semesta besar tempat kita hidup ini,
pun semesta kecil berupa tubuhmu seisinya.
kamu banyak belajar dan mengingat, kamu akan melupakan banyak hal. kamu adalah persinggahan sementara memori pelajaranmu.
kamu sibuk dan banyak pekerjaan, kamu akan kehilangan banyak waktu. kamu adalah persinggahan sementara waktu yang cepat terlahap kesibukan.
kamu banyak berpikir tapi tidak menuliskannya, kamu akan lupa betapa briliannya pemikiranmu tempo hari. kamu adalah persinggahan sementara ide-de hebat yang berkelebat cepat berlalu.
kamu banyak makan, kamu akan sering mengunjungi kloset, karena kamu adalah persinggahan sementara makanan siap saji yang kamu lahap.
Wednesday, December 18, 2013
Tuesday, August 6, 2013
untuk Laila temanku yang belum menikah (dan mungkin sedikit resah)
Laila kawanku, janganlah kamu resah
karena belum menikah
karena menikah itu sejatinya tidak mudah
menikah adalah sebentuk ibadah
menjalaninya tidak selalu mudah
bukan hanya sekedar bercumbu indah
menikah sejatinya sebuah pengabdian
komitmen diri seluruhnya di coba dan pertaruhkan
kodrat memimpin sebagai perempuan
yang terlihat di belakang meniti jalan
sesungguhnya memimpin dengan pengendalian diri dan kesabaran
juga kemawasan terhadap segala coba dan ujian
Laila kawanku, janganlah kamu gundah
semua orang punya waktu tepatnya sendiri yang indah
saat diri siap tanpa sesalnya sesudah
Laila sahabatku,
menikah mungkin melengkapimu
yang setengah menjadi satu
yang sebelah menjadi utuh
namun tidak sederhana selalu
membuat dua kepala menyatu
Laila,
menikah bukan sekedar pesta
namun seumurmu selanjutnya setelahnya dan seterusnya
ia adalah bakti,
bakti terhadap janji
bakti sebagai manusia berakal budi
bakti untuk tidak memikirkan diri sendiri
untuk meneruskan cita-cita meninggalkan sesuatu semasa hidup
meninggalkan arti agar tidak redup
saat tubuh ini tidak mampu lagi menampung jiwa tertangkup
saat tubuh lekang sudah dimakan waktu yang terus berdegup
Menikah, Laila yang gundah,
bukan sesuatu yang mudah
walau membuat utuh dan indah
ambil waktumu,
jedamu,
saat kesempatan masih ada padamu,
nikmati setiap detikmu,
semua akan indah pada takdir yang tepat waktu.
karena belum menikah
karena menikah itu sejatinya tidak mudah
menikah adalah sebentuk ibadah
menjalaninya tidak selalu mudah
bukan hanya sekedar bercumbu indah
menikah sejatinya sebuah pengabdian
komitmen diri seluruhnya di coba dan pertaruhkan
kodrat memimpin sebagai perempuan
yang terlihat di belakang meniti jalan
sesungguhnya memimpin dengan pengendalian diri dan kesabaran
juga kemawasan terhadap segala coba dan ujian
Laila kawanku, janganlah kamu gundah
semua orang punya waktu tepatnya sendiri yang indah
saat diri siap tanpa sesalnya sesudah
Laila sahabatku,
menikah mungkin melengkapimu
yang setengah menjadi satu
yang sebelah menjadi utuh
namun tidak sederhana selalu
membuat dua kepala menyatu
Laila,
menikah bukan sekedar pesta
namun seumurmu selanjutnya setelahnya dan seterusnya
ia adalah bakti,
bakti terhadap janji
bakti sebagai manusia berakal budi
bakti untuk tidak memikirkan diri sendiri
untuk meneruskan cita-cita meninggalkan sesuatu semasa hidup
meninggalkan arti agar tidak redup
saat tubuh ini tidak mampu lagi menampung jiwa tertangkup
saat tubuh lekang sudah dimakan waktu yang terus berdegup
Menikah, Laila yang gundah,
bukan sesuatu yang mudah
walau membuat utuh dan indah
ambil waktumu,
jedamu,
saat kesempatan masih ada padamu,
nikmati setiap detikmu,
semua akan indah pada takdir yang tepat waktu.
Friday, June 14, 2013
Let's Talk About Dying
"You matter because you are you, and you matter to the last moment of your life"
i quote this form TEDeducation with the same title, "Let's Talk About Dying". It's interesting to think of death, as it is as natural as birth or other events in your life.
well, eventually, we are all gonna be dead.
the question is, "how would you go" because it matters how you die. kinda reminds me of "The Big Fish" by Tim Burton. my favorite movie of all time.
Wednesday, May 8, 2013
Wednesday, March 27, 2013
Argo, Pulang, dan Mwathirika
saya tidak pernah benar-benar tau bagaimana horor dan teror itu mendera dan membilur pada orang-orang yang secara nyata terimbas dan ada pada saat peristiwa itu terjadi...
2010, adalah awal kali pertama saya berkenalan dengan kisah-kisah sejarah 65 di Indonesia secara lebih mendalam dan terperinci, versi yang sesungguhnya, tentu saja, bukan versi film G30SPKI atau versi diorama di museum Lubang Buaya.
2010 Agustus-Juli, untuk pertama kalinya saya diminta meriset tentang apa yang terjadi pada tahun 65 lewat pengalaman pakde-bude, orangtua, dimanapun mereka berada saat itu, diminta membaca sebanyak mungkin artikel yang bisa saya lahap dan pahami dalam jangka waktu satu minggu, tugas dari Papermoon Pupet Theatre dalam rangka menjiwai peran yang kelak akan saya emban di atas panggung pertunjukan boneka terssebut. lepas satu minggu, kami berkumpul kembali untuk menceritakan temuan kami masing-masing, Mba Ria dan Mas Iwan pun membekali kami dengan kisah-kisah nyata tambahan hasil temuan mereka, bacaan, artikel, dan dengan lihai Mba Ria sang sutradara menginjeksikan rasa yang bisa ia rambatkan pada hati kami lewat ceritanya, dengan pembacaan naskah lengkap dengan interpretasi emosinya.
tiga bulan lamanya kami tidak bersentuhan sama sekali dengan naskah yang utuh, kami diminta untuk memahami terlebih dahulu tubuh kami. Penantian serta usaha kami selama tiga bulan tersebut terbayar dengan penjiwaan yang terbangun dengan utuh, sedikit demi sedikit, latihan demi latihan.
2010 Desember, untuk pertama kalinya kami mementaskan Mwathirika, dari mulai pentas latihan (gladi bersih) sampai pentas sungguhan. Selama satu minggu kami pentas, saya masih bisa merasakan sayatan di hati saya saat membawakan karakter Tupu, spoiler alert, yang harus kehilangan begitu banyak, dan menanggung perih yang begitu teramat. Terlebih diatas panggung, saat semua sunyi, begitu khusyuk, hanya ada saya, lampu, dan emosi Tupu yang saya pindahkan pada jiwa dalam bodan spons-nya.
2012, dua tahun kemudian, gaung Mwathirika masih saja berdengung; Jakarta, Bandung, Amerika, Singapura. Saya semakin familiar dengan kisah-kisah terkait peristiwa 65 di Indonesia, "Secangkir Kopi dari Playa" juga oleh Papermoon, "Manjali Cakrabirawa" oleh Ayu Utami, artikel-artikel Pramoedya Ananta Toer, "Ronggeng Dukuh Paruk" oleh Ahmad Tohari lengkap dengan interpretasi film-nya bertahun kemudian, "Soe Hok-Gie" besutan Riri Riza, cerita-cerita seram dari Pulau Bali, dan masih banyak cerita dan kesaksian ngeri lainnya. Setiap rinci, setiap cerita, setiap artikel menambah pengalaman saya untuk memperkaya bilik emosi yang saya persembahkan untuk Tupu di atas panggung.
Saya pikir saya cukup paham, namun ternyata saya tidak pernah benar-benar tau bagaimana horor dan teror itu mendera dan membilur pada orang-orang yang secara nyata terimbas, ada pada saat peristiwa itu terjadi...
2013, saya membeli novel "Pulang" buah karya Leila S. Chudori. Saya tidak pernah tau tentang apa novel itu bercerita sampai saya menemuinya di etalase Gramedia beberapa hari yang lalu. Ringkasan cerita yang ada di sampul belakangnya menarik minat saya untuk terus memegangnya sampai meja kasir; lagipula ia tidak akan terpajang di etalase depan tanpa sebuah alasan yang cemerlang.
sejak pertama saya membuka lembarang demi lembaran bab saya tidak bisa berhenti. Cara bertutur penulis sungguh membuat saya tidak kuasa meletakkan buku tanpa rasa penasaran dan keinginan untuk membukanya kembali. Cerita yang ia tuliskan begitu lengkap, begitu nyata membawa imajinasi saya memanggil kembali puluhan cerita yang sudah saya baca, saya dengar; memasang-masangkan mereka pada setiap kejadian dalam cerita novel, mau tidak mau membentuk kesatuan yang lebih utuh, lebih lengkap, lebih komprehensif. Selama beberapa hari jemari saya tidak bisa lepas dari novel Pulang dan tanpa banyak pilihan dalam beberapa terakhir pula. pikiran saya sedikit tertekan, terpengaruh theatre of mind yang saya bangun secara simultan, ber-hari-hari.
2013 Maret, sudah sejak lama saya ingin menonton film arahan Ben Affleck yang menang piala Oscar itu. sudah berkali-keli berencana, gagal, mengajak banyak orang, gagal lagi, pokoknya setiap direncanakan tiap kali itu pula gagal, padahal saya tidak tau tentang apa film Argo itu. Sampai hari ini, selesai bekerja, kami (saya, saska, dan beberapa teman) memutuskan untuk meluncur ke bioskop, beli karcis Argo. Sampai di dalam studio saya masih berbisik ke kanan kiri,"Ini film tentang apa sih?", tak ada jawaban karena lampu sudah meredup, dan narasi film dibacakan.
Argo tentang apa, bagaimana pula plotnya, terpampang polos di berbagai macam situs. Namun rasa tertekan, takut, dan teror yang saya rasakan selama menonton film ini, membuat rasa tertekan saya selama beberapa hari belakangan imbas berhari-hari menonton Theatre of mind dari novel Pulang, menjadi lengkap. Lengkap.
Hujan deras yang mengguyur Bandung dalam perjalanan pulang melengkapi pikiran saya yang beberapa bulan, beberapa tahun ke belakang, memanggil semua cerita yang pernah saya cerap.
Saya adalah anak yang beruntung, keluarga saya tidak punya sejarah terkait dengan peristiwa 65 sama sekali, bersih. Darah saya tidak menjelma sedikitpun ke wajah Tionghoa, walau mungkin jauh di atas pohon keluarga, mungkin ada bersit juga darah Tionghoa; peristiwa kerusuhan Mei 1998, aman. Jika kemudian saya berusaha merasakan teror manusia-menusia yang terimbas peristiwa 65, itu hanyalah rasa yang saya bangun sendiri, dengan gabungan pengalaman orang lain, dan rasa hiperbolis untuk menghidupkan panggung. Namun malam ini rasanya sungguh lain, saya betul-betul merasa tertekan dan takut, sepanjang berada dalam studio film tadi. Berharap, tragedi kemanusiaan macam ini berhentilah, sudahlah, jangan terulang di belahan dunia manapun, manapun!
Saya pikir saya tau, namun saya tidak pernah benar-benar tau bagaimana horor dan teror itu mendera dan membilur pada orang-orang yang secara nyata terimbas, ada pada saat peristiwa itu terjadi...
***
Argo; sebuah film arahan Ben Affleck
Pulang; sebuah novel karya Leila S. Chudori
Mwathirika; sebuah pertunjukan teater boneka karya Papermoon Puppet Theatre
2010, adalah awal kali pertama saya berkenalan dengan kisah-kisah sejarah 65 di Indonesia secara lebih mendalam dan terperinci, versi yang sesungguhnya, tentu saja, bukan versi film G30SPKI atau versi diorama di museum Lubang Buaya.
2010 Agustus-Juli, untuk pertama kalinya saya diminta meriset tentang apa yang terjadi pada tahun 65 lewat pengalaman pakde-bude, orangtua, dimanapun mereka berada saat itu, diminta membaca sebanyak mungkin artikel yang bisa saya lahap dan pahami dalam jangka waktu satu minggu, tugas dari Papermoon Pupet Theatre dalam rangka menjiwai peran yang kelak akan saya emban di atas panggung pertunjukan boneka terssebut. lepas satu minggu, kami berkumpul kembali untuk menceritakan temuan kami masing-masing, Mba Ria dan Mas Iwan pun membekali kami dengan kisah-kisah nyata tambahan hasil temuan mereka, bacaan, artikel, dan dengan lihai Mba Ria sang sutradara menginjeksikan rasa yang bisa ia rambatkan pada hati kami lewat ceritanya, dengan pembacaan naskah lengkap dengan interpretasi emosinya.
tiga bulan lamanya kami tidak bersentuhan sama sekali dengan naskah yang utuh, kami diminta untuk memahami terlebih dahulu tubuh kami. Penantian serta usaha kami selama tiga bulan tersebut terbayar dengan penjiwaan yang terbangun dengan utuh, sedikit demi sedikit, latihan demi latihan.
2010 Desember, untuk pertama kalinya kami mementaskan Mwathirika, dari mulai pentas latihan (gladi bersih) sampai pentas sungguhan. Selama satu minggu kami pentas, saya masih bisa merasakan sayatan di hati saya saat membawakan karakter Tupu, spoiler alert, yang harus kehilangan begitu banyak, dan menanggung perih yang begitu teramat. Terlebih diatas panggung, saat semua sunyi, begitu khusyuk, hanya ada saya, lampu, dan emosi Tupu yang saya pindahkan pada jiwa dalam bodan spons-nya.
2012, dua tahun kemudian, gaung Mwathirika masih saja berdengung; Jakarta, Bandung, Amerika, Singapura. Saya semakin familiar dengan kisah-kisah terkait peristiwa 65 di Indonesia, "Secangkir Kopi dari Playa" juga oleh Papermoon, "Manjali Cakrabirawa" oleh Ayu Utami, artikel-artikel Pramoedya Ananta Toer, "Ronggeng Dukuh Paruk" oleh Ahmad Tohari lengkap dengan interpretasi film-nya bertahun kemudian, "Soe Hok-Gie" besutan Riri Riza, cerita-cerita seram dari Pulau Bali, dan masih banyak cerita dan kesaksian ngeri lainnya. Setiap rinci, setiap cerita, setiap artikel menambah pengalaman saya untuk memperkaya bilik emosi yang saya persembahkan untuk Tupu di atas panggung.
Saya pikir saya cukup paham, namun ternyata saya tidak pernah benar-benar tau bagaimana horor dan teror itu mendera dan membilur pada orang-orang yang secara nyata terimbas, ada pada saat peristiwa itu terjadi...
2013, saya membeli novel "Pulang" buah karya Leila S. Chudori. Saya tidak pernah tau tentang apa novel itu bercerita sampai saya menemuinya di etalase Gramedia beberapa hari yang lalu. Ringkasan cerita yang ada di sampul belakangnya menarik minat saya untuk terus memegangnya sampai meja kasir; lagipula ia tidak akan terpajang di etalase depan tanpa sebuah alasan yang cemerlang.
sejak pertama saya membuka lembarang demi lembaran bab saya tidak bisa berhenti. Cara bertutur penulis sungguh membuat saya tidak kuasa meletakkan buku tanpa rasa penasaran dan keinginan untuk membukanya kembali. Cerita yang ia tuliskan begitu lengkap, begitu nyata membawa imajinasi saya memanggil kembali puluhan cerita yang sudah saya baca, saya dengar; memasang-masangkan mereka pada setiap kejadian dalam cerita novel, mau tidak mau membentuk kesatuan yang lebih utuh, lebih lengkap, lebih komprehensif. Selama beberapa hari jemari saya tidak bisa lepas dari novel Pulang dan tanpa banyak pilihan dalam beberapa terakhir pula. pikiran saya sedikit tertekan, terpengaruh theatre of mind yang saya bangun secara simultan, ber-hari-hari.
2013 Maret, sudah sejak lama saya ingin menonton film arahan Ben Affleck yang menang piala Oscar itu. sudah berkali-keli berencana, gagal, mengajak banyak orang, gagal lagi, pokoknya setiap direncanakan tiap kali itu pula gagal, padahal saya tidak tau tentang apa film Argo itu. Sampai hari ini, selesai bekerja, kami (saya, saska, dan beberapa teman) memutuskan untuk meluncur ke bioskop, beli karcis Argo. Sampai di dalam studio saya masih berbisik ke kanan kiri,"Ini film tentang apa sih?", tak ada jawaban karena lampu sudah meredup, dan narasi film dibacakan.
Argo tentang apa, bagaimana pula plotnya, terpampang polos di berbagai macam situs. Namun rasa tertekan, takut, dan teror yang saya rasakan selama menonton film ini, membuat rasa tertekan saya selama beberapa hari belakangan imbas berhari-hari menonton Theatre of mind dari novel Pulang, menjadi lengkap. Lengkap.
Hujan deras yang mengguyur Bandung dalam perjalanan pulang melengkapi pikiran saya yang beberapa bulan, beberapa tahun ke belakang, memanggil semua cerita yang pernah saya cerap.
Saya adalah anak yang beruntung, keluarga saya tidak punya sejarah terkait dengan peristiwa 65 sama sekali, bersih. Darah saya tidak menjelma sedikitpun ke wajah Tionghoa, walau mungkin jauh di atas pohon keluarga, mungkin ada bersit juga darah Tionghoa; peristiwa kerusuhan Mei 1998, aman. Jika kemudian saya berusaha merasakan teror manusia-menusia yang terimbas peristiwa 65, itu hanyalah rasa yang saya bangun sendiri, dengan gabungan pengalaman orang lain, dan rasa hiperbolis untuk menghidupkan panggung. Namun malam ini rasanya sungguh lain, saya betul-betul merasa tertekan dan takut, sepanjang berada dalam studio film tadi. Berharap, tragedi kemanusiaan macam ini berhentilah, sudahlah, jangan terulang di belahan dunia manapun, manapun!
Saya pikir saya tau, namun saya tidak pernah benar-benar tau bagaimana horor dan teror itu mendera dan membilur pada orang-orang yang secara nyata terimbas, ada pada saat peristiwa itu terjadi...
***
Argo; sebuah film arahan Ben Affleck
Pulang; sebuah novel karya Leila S. Chudori
Mwathirika; sebuah pertunjukan teater boneka karya Papermoon Puppet Theatre
Saturday, February 23, 2013
ViaVia Jogjakarta
ViaVia Jogjakarta akan memperingati kehadiran mereka yang sudah puluhan tahun ikut meramaikan keriaan kota Jogjakarta. Dalam selebrasinya itu, mereka akan menerbitkan buku kumpulan dokumentasi, foto, juga cerita dari setiap orang yang pernah terlibat di dalamnya. Tidak terkecuali saya yang pernah bekerja disana, walau singkat. memenuhi permintaan mereka untuk membeberkan cerita-cerita saat saya disana mau tidak mau membawa saya kembali pada masa-masa itu. ada beberapa cerita yang berkesan buat saya, namun tidak pernah saya tuliskan sebelumnya. Saat menuliskannya dalam email, membuat saya teringat banyak hal, banyak peristiwa, banyak rasa..masa-masa itu, haha. saya pun ingin berbagi cerita-cerita berarti itu disini, cerita yang membawa beberapa pengalaman baru dalam hidup saya.
1.
Pertama kali kerja di ViaVia langsung ada masalah karena ternyata ada pameran bentrok di luar kuasa aku, hehehe. Jadi ceritanya waktu itu lagi pamerannya Yuni Bening, lalu ganti jadi aku yang mengurus pameran, dari jadwal dan amanah yang kurator terdahulu berikan, harusnya yang pameran Dodi Taring Padi. Di masa peralihan itu aku yang baru pertama kalinya bekerja di ViaVia ga tau harus menunggu Yuni Bening selesai atau bisa langsung pameran Dodi, side by side. Karena melihat kuantitas karya dari Yuni yang juga tidak terlalu banyak, aku mulai berpikir taktis, bahwa ViaVia bisa diperlakukan layaknya galeri yang mempunyai ruang-ruang yang bisa digunakan lebih dari satu seniman; seniman ini di ruang A, seniman itu di ruang B. Sementara itu, pihak Dodi yang sudah dijanjikan tanggal oleh kurator sebelum aku mulai bertanya terus mengenai kejelasan pamerannya. Kurangnya pengalamanku membuat aku menjanjikan Dodi tetap mendapat tanggal yang dijanjikan kurator terdahulu, dan aku berjanji akan negosiasi ke Yuni Bening untuk menyatukan karyanya di ruangan yang lebih kecil. Sayangnya tidak semulus itu semua berjalan. Pihak Yuni sebenarnya ingin karyanya menyebar dan "invisible" adalah bagian dari salah satu konsepnya...yang mana tidak pernah dikomunikasikan ke saya, dari pihaknya maupun dari pihak kurator terdahulu. Akhirnya Mie, owner dari ViaVia ikut negosiasi, dan semua seniman setuju "ikut aturan main" Via Via. Dari situ aku belajar pentingnya kontrak yang menjelaskan klausul hak dan kewajiban dari seniman dan pihak ViaVia; apa yang diharapkan dan akan didapat kedua pihak. Sehingga setiap masa peralihan pergantian kurator, saya harap, tidak akan terjadi lagi kejadian membingungkan serupa, hehe.
2.
Ada juga cerita tentang pameran yang paling berkesan buat aku selama jadi kurator di ViaVia! Pameran itu adalah pameran temanku dari bandung, sepasang Widyastuti dan Indrawan Prabaharyaka. Judul pamerannya "The Marginalized" dari 27 November - 19 Desember 2010. Buat aku, pameran ini istimewa luar biasa. Selama aku menyelenggarakan pameran di ViaVia, pameran ini adalah pameran yang karyanya paling bisa aku nikmati, hehe. Pameran ini merupakan pameran foto hasil perjalanan berbulan-bulan travelling back packer keliling Asia Tenggara mereka. Selama perjalanan itu mereka tinggal di hostel-hostel murah, bermain dengan anak-anak warga sekitar, blend in dan menghidupi setiap daerah yang mereka kunjungi, dan semua mereka tangkap dengan jeli menggunakan kamera dan gambar tangan mereka. judulnya pun "The Marginalized", karena yang banyak mereka temui dan selami kesehariannya adalah kaum-kaum terpinggirkan, kaum marjinal, mereka yang hidup sebagai penduduk kota, tetapi juga terhimpit oleh pergerakan kota itu sendiri. Karya foto yang banyak ini memenuhi seluruh dinding ruang utama restoran ViaVia. Pengunjung restoran mau tidak mau tersuguhi potret-potret indah dari area kumuh kota-kota di Asia Tenggara. Pameran ini berbeda dari pameran yang lain selama aku di ViaVia, juga karyanya paling bisa menyentuhku dengan cerita dan visualisasinya.
3.
ada lagi pameran dari Octo Cornelius. Pamerannya di ViaVia adalah pameran tunggal perdananya. Melihat pameran itu seperti melihat ia bercerita dengan akrab masa-masa hidupnya sedari ia kecil sampai perjalanannya membawa ia ke Jogjakarta. Masa-masa bertualangnya saat remaja di Rembang dan di Jogja, sampai masa dewasanya yang sudah lebih bijak di Jogja. Ia mengekspresikan pengalaman dan ceritanya, lewat benda-benda yang terbengkalai selama masa hidupnya berjalan lalu ia kombinasikan dengan craftmanship-nya yang terampil mengolah kayu. Senang rasanya melihat Octo pada pembukaan pamerannya, ia membagi secuil kisah hidupnya pada para pengunjung di malam itu; tentang knalpot dari motor custom kebanggaannya dulu yang kini menjadi bangkai kemudian ia oleh menjadi karya, tentang pengalamannya menjadi mahasiswa fotografi di ISI Jogjakarta (dan hantu juga tokek yang menghuni studionya), tentang Rembang kota kelahirannya di pinggir pantai yang jauh dari matanya, tapi selalu dekat di hati dan kulit gelapnya.
1.
Pertama kali kerja di ViaVia langsung ada masalah karena ternyata ada pameran bentrok di luar kuasa aku, hehehe. Jadi ceritanya waktu itu lagi pamerannya Yuni Bening, lalu ganti jadi aku yang mengurus pameran, dari jadwal dan amanah yang kurator terdahulu berikan, harusnya yang pameran Dodi Taring Padi. Di masa peralihan itu aku yang baru pertama kalinya bekerja di ViaVia ga tau harus menunggu Yuni Bening selesai atau bisa langsung pameran Dodi, side by side. Karena melihat kuantitas karya dari Yuni yang juga tidak terlalu banyak, aku mulai berpikir taktis, bahwa ViaVia bisa diperlakukan layaknya galeri yang mempunyai ruang-ruang yang bisa digunakan lebih dari satu seniman; seniman ini di ruang A, seniman itu di ruang B. Sementara itu, pihak Dodi yang sudah dijanjikan tanggal oleh kurator sebelum aku mulai bertanya terus mengenai kejelasan pamerannya. Kurangnya pengalamanku membuat aku menjanjikan Dodi tetap mendapat tanggal yang dijanjikan kurator terdahulu, dan aku berjanji akan negosiasi ke Yuni Bening untuk menyatukan karyanya di ruangan yang lebih kecil. Sayangnya tidak semulus itu semua berjalan. Pihak Yuni sebenarnya ingin karyanya menyebar dan "invisible" adalah bagian dari salah satu konsepnya...yang mana tidak pernah dikomunikasikan ke saya, dari pihaknya maupun dari pihak kurator terdahulu. Akhirnya Mie, owner dari ViaVia ikut negosiasi, dan semua seniman setuju "ikut aturan main" Via Via. Dari situ aku belajar pentingnya kontrak yang menjelaskan klausul hak dan kewajiban dari seniman dan pihak ViaVia; apa yang diharapkan dan akan didapat kedua pihak. Sehingga setiap masa peralihan pergantian kurator, saya harap, tidak akan terjadi lagi kejadian membingungkan serupa, hehe.
2.
Ada juga cerita tentang pameran yang paling berkesan buat aku selama jadi kurator di ViaVia! Pameran itu adalah pameran temanku dari bandung, sepasang Widyastuti dan Indrawan Prabaharyaka. Judul pamerannya "The Marginalized" dari 27 November - 19 Desember 2010. Buat aku, pameran ini istimewa luar biasa. Selama aku menyelenggarakan pameran di ViaVia, pameran ini adalah pameran yang karyanya paling bisa aku nikmati, hehe. Pameran ini merupakan pameran foto hasil perjalanan berbulan-bulan travelling back packer keliling Asia Tenggara mereka. Selama perjalanan itu mereka tinggal di hostel-hostel murah, bermain dengan anak-anak warga sekitar, blend in dan menghidupi setiap daerah yang mereka kunjungi, dan semua mereka tangkap dengan jeli menggunakan kamera dan gambar tangan mereka. judulnya pun "The Marginalized", karena yang banyak mereka temui dan selami kesehariannya adalah kaum-kaum terpinggirkan, kaum marjinal, mereka yang hidup sebagai penduduk kota, tetapi juga terhimpit oleh pergerakan kota itu sendiri. Karya foto yang banyak ini memenuhi seluruh dinding ruang utama restoran ViaVia. Pengunjung restoran mau tidak mau tersuguhi potret-potret indah dari area kumuh kota-kota di Asia Tenggara. Pameran ini berbeda dari pameran yang lain selama aku di ViaVia, juga karyanya paling bisa menyentuhku dengan cerita dan visualisasinya.
3.
ada lagi pameran dari Octo Cornelius. Pamerannya di ViaVia adalah pameran tunggal perdananya. Melihat pameran itu seperti melihat ia bercerita dengan akrab masa-masa hidupnya sedari ia kecil sampai perjalanannya membawa ia ke Jogjakarta. Masa-masa bertualangnya saat remaja di Rembang dan di Jogja, sampai masa dewasanya yang sudah lebih bijak di Jogja. Ia mengekspresikan pengalaman dan ceritanya, lewat benda-benda yang terbengkalai selama masa hidupnya berjalan lalu ia kombinasikan dengan craftmanship-nya yang terampil mengolah kayu. Senang rasanya melihat Octo pada pembukaan pamerannya, ia membagi secuil kisah hidupnya pada para pengunjung di malam itu; tentang knalpot dari motor custom kebanggaannya dulu yang kini menjadi bangkai kemudian ia oleh menjadi karya, tentang pengalamannya menjadi mahasiswa fotografi di ISI Jogjakarta (dan hantu juga tokek yang menghuni studionya), tentang Rembang kota kelahirannya di pinggir pantai yang jauh dari matanya, tapi selalu dekat di hati dan kulit gelapnya.
Sunday, February 10, 2013
Subscribe to:
Posts (Atom)
Totto-chan: Sebuah Ulasan
Segera setelah adegan terakhir Totto-chan membuka pintu kereta yang masih berjalan sambil menggendong adik perempuannya yang masih bayi, lal...
-
Cicing = anjing kasar (khahahahaha di bandung kan artinya diem, saya jadi kebayang, “Cicing siah!” berarti bisa berarti “Diem kamu!” atau “a...
-
too much to say leave a silence. what will tomorrow fells like without u, i wonder,, what will a small tiny caterpillar feels without it...