Saturday, July 16, 2022

9/28 A Concrete Grows a Rose


It’s been 3 days since last time i wrote.
Seyuyurnya kepala saya penuh sekali sih, tapi seperti pernah terbahas dengan Mia, once itu tertimbun, entah itu tertimbun di draft atau dalam kepala, rasanya lebih susah memanggilnya.

Setelah hari pertama summer class dibuka (dan langsung diberi beberapa materi kelas), hari kedua langsung penuh dari pukul 09:00 - 18:00 antara sesi workshop dan sesi kelas. Materi kelas dan presentasi tidak hanya di isi oleh dosen/pengajar, tapi juga di isi dengan sesi-sesi presentasi siswa dengan project-project mereka. Sementara workshop mostly di isi professionals atau di isi fasilitator untuk shaping up karya kelompok dari tugas summer school ini.

Kuliah hari kedua banyak di isi dengan materi tentang resiliency. Resilience thinking came form risk management. Untuk membantu kita merancang sebuah strategi, kita terlebih dahulu perlu mengidentifikasi PDMI. Place, Disturbance, Measures, Injustice. Place adalah tempat atau spasial dimana kita mengidentifikasi titik paling rawan terhadap perubahan/transisi. Disturbance, gangguan (shock/stresses) seperti apa yang kemungkinan besar akan terjadi. Measures, bagaimana kita akan merespon disturbance dengan lebih tepat? Apakah dengan beradaptasi (minimize negative impact), recovery (bring back system to its previous stage), atau mitigasi (actions that can reduce the shock). Dengan bekal materi ini kami lalu diminta untuk merefleksikan sebuah case di Netherlands sebagai project summer school kami, yang harus selesai dalam waktu kurang lebih 10 hari.

Lokasi yang menjadi case kami adalah sebuah lokasi pelabuhan lama di kota Den Haag, bernama Scheveningen Haven. Kalau Amsterdam adalah capital city the Netherlands, Den Haag adalah pusat kota administratif. Scheveningen Haven adalah sebuah area di pelabuhan yang juga, karena ada pantai, menjadi tujuan rekreasi banyak orang Belanda. Mereka memilki problematika seperti, daerah tua yang dihuni oleh masyarakat low income, yang disinyalir sebagai area yang lebih “kasar”, di sisi lain, karena ada pembangunan pantai (yup, pembangunan pantai sodara-sodara, mereka ngakalin nature supaya punya pantai πŸ˜…) mereka juga punya rekreasional area dan pembangunan tempat huni yang menjual pemandangan. Dilemanya, daerah ini sebetulnya ada di luar area coastal defense mereka. 

Wait, kenapa ada coastal defense, mereka perlu defending themselves dari siapa? Dari alam.
Bukan, bukan alam yang ini..

Seperti yang pernah kubahas di postingan sebelum ini, Belanda berada di bawah permukaan laut, tapi mereka bisa ga “tenggelam” karena mereka mengakali alam. Untuk bisa membuat “lahan” mereka membangun kanal untuk mengalirkan air, menemukan inovasi kicir sebagai pompa, untuk memompa air ke “atas” kembali ke lautan. Mereka juga membangun tanggul-tanggul, tinggi untuk mengindarkan air masuk ke dalam kota. Scheveningen adalah salah satu tanggul yang mereka bangun. National Coastal Defense Line mereka adalah garis imajiner yang mereka buat sebagai garis pertahanan air masuk jika terjadi bencana. Nah, banyak area  huni di Scheveningen, terutama social housing, wilayah huni bagi masyarakat low income, berada di luar garis coastal defense mereka.

Sebenernya untuk project kelompok di summer school ini salah satu narsum meminta kita fokus ke fenomena heatwave karena di Den Haag, yang notabene dekat dengan pantai lebih terasa panas dari wilayah lain di Belanda. But when day progressing, i don’t think that’s the case anymore. Kita diminta identify banyak sekali aspek dan hal. Dari mulai membuat visi yang consider values dan principals, then consider just transition, environmental, social and economical aspect, dari situ turun menjadi strategi untuk mewujudkadn visi. Terasa sangat besar terutama bagi kami yang sama sekali bukan warlok. Warung cilok. I mean, warga lokal.

Peripheral actors yang kelompok saya sasar, setelah melalui diskusi adalah future actors. Kami membayangkan berinteraksi dengan anak-anak could be fun, di tengah workshop dan assignment yang terasa berat ini. Metode yang kami pilih untuk mengumpulkan data adalah observasi dan mengumpulkan gambar anak-anak, “How do they perceive heatwave?” Adalah salah satu pertanyaan kami. Knowledge yang kami sasar utnuk kumpulkan adalah relational knowledge. We should interrelated all the data we gather, made it into a vision, narration, and strategy. Beres kagak ya nih tugas πŸ˜ monmaap, berat amat nih, kaya harapan.


***

Di hari ketiga kami diajak site visit ke Scheveningen Haven di Den Haag, untuk melakukan observasi langsung dan mencoba metode yang kami rancang apakah doable atau tidak.

Banyak yang kami dapat dan temukan. Saya pribadi, saya menemukan di daerah pesisir Den Haag, ada cukup banyak tumbuhan dan bunga yang tumbuh tinggi di sela-sela jalanan batu. Perjalanan site visit di hari ketiga sesungguhnya cukup melelahkan, ada sebongkah energi yang masih saya awet-awet untuk hari keempat dan hari ini. Saya memilih istirahat cepat dan bangun pagi supaya tidak terlambat dan bisa sepedahan santai. Tapi sejujurnya lelah fisik sepertinya tanpa saya sadari creeping up my mind. Ada sebersit perasaan, “Wah kayanya susah nih keep up” dan sebersit insecurities dan beast yang sulit diajak berdialog dengan tenang.

Tapi lalu saya teringat pemandangan bunga yang tumbuh di antara jalan batu, concretes. Saya sempat membatin, “persisten juga ya tumbuhan ini bisa tumbuh dari jalan batu”. Tentu saya ingat juga Tupac yang dengan terkenalnya memparafrasekan fenomena ini dalam lagunya yang kemudian dikutip Rich Brian di lagu “Kids”

“Remember when Pac says, a concrete grows a rose”

Lucunya, persistensi ini align dengan materi-materi kuliah tentang resistensi dan resiliency. My other me di dalam kepala tampaknya memang perlu diajak ngobrol setiap hari, lewat menulis, kalau tidak dia bisa jadi anxious, oh how demanding 🫠

Dalam 4 hari ini saya berusaha mengosongkan “gelas” saya, bertransformasi menjadi spon sebusa mungkin, sebisa mungkin (pun intended, hehe). Berdialog dengan diri juga, walau semakin hari semakin challenging dengan waktu-waktu singkat yang saya punya untuk sendiri. Kalalupun ada hikmah cepat yang bisa saya ambil dari materi-materi yang saya pelajari, yang menjadikan negara ini se-well-planned itu adalah karena bahaya yang mereka tentang dalam kesehariannya. Atas dasar pemikiran ini, dan reminder dari Tupac, seharusnya saya (dan the other me yang sangat critical di kepala) bisa considering semua aspek limitasi yang saya punya, bukan untuk membuat saya mundur, tapi untuk better planned hari-hari tersisa yang saya punya. 

Limitations exist not to stop us. It exist to help us reflect and be more strategic and smarter, knowing that we won’t have forever. 

We won’t have forever.

So, what’s your vision?
What kind of values you have, you want to implement? What are your priciple?
Can you identify places you are most vulnerable with?
What kind of disturbance you likely will have?
If you able to identify those things, then what kind of measure you think can be applied?

Sebagai sebuah bentuk usaha dialog yang perlu saya bangun dengan diri sendiri, saya menggunakan kesempatan untuk slowing down sebelum menulis dan mewarnai foto bunga yang persisten. Isn’t it beautiful, the struggle for life? Well, it depends actually. You could see it as a pitty flower struggling to grow, or either see it as an empowering move to thrive despite anything. The way Romo Mangun portray his heroine in his books.

No comments:

Post a Comment

mati, hilang, dan kehilangan

Hari ini salah satu kawan saya berpulang, setelah sekian bulan, tidak hanya ia tapi juga istri dan anak satu-satunya berjuang melawan sakitn...