Kenapa di tulisan sebelumnya (Kaja dan Kelod) saya bilang yang punya peranan penting di Bali hanya Utara dan Selatan?
Karena ini ada hubungannya dengan filosofi cara hidup masyarakat di Bali dengan segala struktur tatanan adat istiadat mereka.
Dijelaskan oleh Ibu Arini Alit.
Jadi gini,
Waktu belajar menari sama Ibu Arini, agem (sikap “siap” dalam menari Bali) saya seringkali salah posisi tangannya, SEHARUSNYA, buku-buku jari kedua tangan saya selalu menghadap ke kiri.
“kenapa ke kiri?”
Seperti kebanyakan sistem yang dianut di Pulau Jawa, Bali pun, menganut sistem patrilineal.
Di Bali, kedudukan laki-laki dianggap lebih tinggi.
Lebih luhur.
Jadi simbolnya pun, laki-laki harus lebih bagus.
Lelaki adalah kanan.
Lelaki adalah Kaja, gunung. Gunung dianggap lebih mulia karena kedudukannya yang tinggi, menggapai Nirwana.
Therefore,
Perempuan adalah kiri.
Perempuan adalah Kelod, lautan, yang kedudukannya lebih rendah.
Kalau ada pentas nari sekalipun, biasanya kalangan (stage) dibuat mengarah ke Selatan, Kelod. Jadi para penari itu keluarnya, gracefuly dari Utara, Kaja, menuju penonton yang berbondong-bondong menonton di sebelah selatan.
Nah, karena perempuan adalah kiri, maka tarian perempuan pun, biasanya, wajarnya, buku-buku jari tangannya semua mengarah ke kiri.
TAPI biarpun ada strata kedudukan, Kaja dan Kelod tidak ada yang lebih bagus. Mereka saling melengkapi. Air pegunungan akan mengalir menuju Laut, air Laut yang menguap pun akan turun di Gunung.
Sama seperti tidak ada jahat yang benar-benar jahat atau baik yang benar-benar baik. Jahat tidak akan ada kalau tidak ada yang Baik. Baik tidak akan ada kalau tidak ada yang Jahat.
Aku seorang perempuan,
Aku Kelod,
Aku kiri,
Aku lautan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Totto-chan: Sebuah Ulasan
Segera setelah adegan terakhir Totto-chan membuka pintu kereta yang masih berjalan sambil menggendong adik perempuannya yang masih bayi, lal...
-
Cicing = anjing kasar (khahahahaha di bandung kan artinya diem, saya jadi kebayang, “Cicing siah!” berarti bisa berarti “Diem kamu!” atau “a...
-
jakarta is a melting pot. bapak saya kelahiran jakarta, saya pun kelahiran jakarta, tapi saya masih aja bingung kalo ditanya, apalagi kala...
mit gw suka banget tulisan yang ini
ReplyDeleteterutama alinea terakhirnya
Hmm..Dualitas baik buruk tertata oleh epistem di Bali, setidaknya melalui Kaja-Kelod. Bagaimana kalau strata sosial yang ada menghendaki pengingkaran dualitas atau bahkan penegasannya, apa yang bisa dijelaskan dari simbolisme Kaja-Kelod kini? Bahasa menurut gw membuka ruang tafsir itu. Kalau mau tegas, bukannya semuanya coba dilampaui dalam epik Ramayana dan Mahabaratha, nir? -Kumbo-
ReplyDeletetapi bagaimanapun gw suka tulisannya, seger dibacanya...nice try..
ReplyDeletekumbooo, ga ngertiiiii gw, khaha.
ReplyDelete"Kalau mau tegas, bukannya semuanya coba dilampaui dalam epik Ramayana dan Mahabaratha, nir?" --ini maksutnya apaa?diskusi, diskusi..
Aduh,aduh,aduh...Jadi malu gw mit..
ReplyDeleteNgga,ngga,ngga ko. Itu cuma lagi skip, hahahaa..
Beneran deh, gw ngga mau seserius itu ko, maaf,maaf,maaaff..Sampe bikin lu ngga ngerti.
Meningan kita ngubrulin yg laen okeh,okeh..hehehee..Gimana kalo ngubrulin tukang parkir, yg suka teriak "trusss,trusss,truuusss.." mulu. Kayaknya tukang parkir lebih faseh ngomongin hidup ngelebihin Mario Teguh deh, karena maju trus. Hmmh, kudu belajar filosofi hidup dari tukang parkir nih, hahahahaa..Ngga nyambung komen gw yak!